Transparansi Menghadapi Konflik Kepentingan dan Korupsi Dalam Pengadaan Barang atau Jasa


A.      Transparansi: Definisi, Lingkup dan Kriteria
Transparansi membuka akses ke informasi agar ada persaingan yang fair dan meungkinkan pengawasan efektif. Maka transparansi dalam pengadaan barang/jasa publik menurut lima syarat: (i) Memungkinkan akses ke informasi tentanga aturan-aturan dan prosedur-prosedur serta tentang kesempatan pengadaan barang/jasa tertentu. (ii) Informasi harus jelas, konsisten, dan relevan sehingga calon penyedia dan kontraktor memahami proses pengadaan barang/jasa secara baik, tidak merasa dipermainkan dan memperoleh jaminan perlakuan yang adil. (iii) Standarisasi proses yang memungkinkan kontrol kebijakan melalui benchmark(iv) Keputusan-keputusan penting di dalam pengadaan barnag/jasa terdokumentasi dengan baik dan mudah di akses. (v) Penerapan sistem teknologi informasi dalam E-Procurement menjadi alat tnraparasi karena sistem itu meninggalkan jejak untuk memudahkan audit, yang sangat bermanfaat untuk membuat revisi dan evaluasi kebijakan pengadaan barang/jasa.
Tugas pengadaan barang dan jasa, menurut Westring, mencakup setidaknya tujuh bidang/lingkup, yaitu (i) perincian tentang jenis dan jumlah barang atau jasa; (ii) pemeriksaan pasar penyedia dan kontrak dengan penyedia-penyedia barang/jasa yang mungkin; (iii) membuat pemesanan atau kontrak, termasuk negoisasi tentang syarat-syaratnya; (iv) mengawasi penyerahan kiriman dan kinerjanya; (v) melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan bila pekerjaan tidka beres; (vi) melakukan pembayaran; (vii) mengurusi penyelesaian bila muncul perkara (Ibid. 7).
Kewajiban hukum dan persetujuan-persetujuan yang disepakati ditentukan oleh kerangka kebijakan yang jelas yang mencakup empat ketentuan (Ibid.8); (i) kebijakan umum (misalnya prioritas penyedia dalam negeri) dan regulasi (hukum, statuta, keputusan menteri); (ii) dana untuk pengadaan barnag dan jasa apakah dari pemerintah, bila demikian, audit pemerintah diperbolehkan untuk menyelidiki kegiatan-kegiatan pengadaan barang dan jasa; (iii) apakah pemerintah merukana instansi paling bertanggung jawab akan kewajiban-kewajiban terhadap pihak ketiga; (iv) apakah badan pemerintah yang mengadakan kontrak ditentukan oleh statuta atau disamakan dengan perusahaan swasta.

B.      Transparansi: Aturan dan Prosuder Harus Jelas dan Fair
Agar pengadaan barang/jasa berkualitas harus ada persaingan, maka semakin banyak kontraktor yang ikut serta, akan semakin bisa memilik yang terbaik. Untuk menarik minat banyak kontraktor, aturan dan prosedur harus terbuka dan fair. Untuk tujuan itu, ada tiga cara (Fighting Corruption and Promoting Integrity in Public Procurement, 2005-25): (i)  Pemerintah mengumumkan persaingan terbuka. Maka perlu ada publikasi melalui media atau pemberitahuan on-line(ii) Pemerintah menetapkan statuta dan regulasi yang dirancang dengan standar yang sama. (iii) Sebelum berlaku efektif, aturan-aturan itu dipublikasikan lebih dahulu untuk mendapatkan masukan atau perbaikan dari pihak-pihak yang berkepentingan. 
Transparansi berarti menjamin akses ke hukum dan regulasi, keputusan-keputusan administratif dan hukum, klausal standar kontrak, sarana, metode dan proses pengadaan barang/jasa karena itualah syarat-syarat yang mendefinisikan, mengatur dan menentukan kontrak (OECD Principles for Integrity in Publik Procurement, 2009:22). Prosedur mitigasi. “Pemerintah sebaiknya juga menentukan prosedur mitigasi bila ada risiko-risiko yang mungkin bisa terjadi seperti bencana alam, kecelakaan besar, krisis moneter atau musibah lain”. Prosedur mitigasi efektif bila pemerintah menjamin administrasi efisien sehingga tidak dipermainkan oleh kontraktor rekanan. Penanggung jawab keputusan kunci setidaknya dipegang dua atau tiga orang untuk pengawasan dan menghindari kesewenangan atau tindakan sepihak.

C.      Lubang-Lubang Korupsi dan Tanda-Tandanya
Ada dua belas gejala yang patut dicurigai adanya korupsi atau konflik kepentingan dalam proses pengadaan barang/jasa: (i) Kontrak diberikan selalu kepada penyedia yang sama tanpa ada kompetisi, sering dengan harga lebih tinggi dari harga pasar; (ii) Adanya perantara dalam kontrak padahal dia tidak menambah mutu atau kinerja kontrak; (iii) Pejabat yang bertanggung jawab menerima pemberian, fasilitas uang dan nampak lebih kaya padahal tidak sesuai dengan gaji yang diperolehnya. (iv) Mutu barang/jasa atau pekerjaan yang diberikan rendah. (v) Mantan pejabat atau keluarga, teman atau yang memiliki hubungan pribadi bertindak sebagai penyedia barang/jasa. (vi) Keluhan dari penawar dianggap sebagai sumber informasi penting adanya penipuan atau korupsi. (vii) Petunjuk pertama terkait dengan masalah harga. (viii) Teknik lain ialah skala perbedaan harga terlalu mencolok antara pemenang tender dan penawar lain. (ix) Kecurigaan perlu diarahkan pada prosedur. (x) Tanda lain yang patut dicurigai adalah perbaikan penawaran disaat-saat terakhir penyerahan atau sesudah penyerahan. (xi) Mundurnya calon penawar yang memiliki kualifikasi bisa memberi petunjuk adanya tekanan entah dari pejabat publik atau kolusi dengan penawaran lain (Ibid. 303). (xii) Sistem rotasi untuk mendapatkan kontrak di antara para penawar atau alokasi pasar sehingga mereka tidak perlu bersaing mendapatkan tender.

D.      Perusahaan Facade dan Gejala Manipulasi
Cara korupsi yang cukup canggih ialah dengan mendirikan perusahan facade, yang berfungsi untuk menutupi pengaruh ilegal dalam pemenangan kontrak, korupsi atau pencucian hasil uang korupsi (G.T. Ware, 2007:304-305). Perusahaan semacam ini hanya digunakan untuk memanipulasi tender atua menekan peserta tender yang lain. Perusahaan facade dipakai untuk pembayaran oleh pemenang tender sehingga seakan-akan uang tersebut adalah pembyaran atas prestasi atau pekerjaan yang disubkontrakkan, misalnya, mensuplai “data teknik” dengan harga 30% dari nilai kontrak.
Beberapa ciri yang mencurigakan adnaya perusahan facade untuk manipulasi tender dalam menutupi korupsi (Ibid, 305): (i) perusahaan yang sebelumnya tidak dikenal karena tidak memiliki track record ambil bagian dalam tender mengajukan sebagai subkontraktor terhadpa penawaran utama; (ii) perusahaan subkontraktor tidak memiliki prasarana atau fasilitas, bahkan sering alamatnya bukan kantor tapi rumah tinggal, atau seandainya kantor tidak ada kegiatan yang berarti; (iii) keluarga pejabat publik yang menangani pengadaan barang/jasa menjadi pemilik atau masuk dalam manajemen perusahaan yang menang tender; (iv) pejabat tersebut sering kelihatan muncul di kantor pemenang tender atau ketemu pemilik perusahaan pemenang tender di tempat lain.
Distorsi sejak awal proyek ini akan menyeret ke penawaran yang manipulatif, penuh kolusi dan korupsi. Gejalan-gejalan sudah bisa dikenali dalam hal: (i) proses persetujuan proyek tidak terlalu jelas, tidak ada kriteria objektif dalam memilih proyek seperti pilihan tempat atau bentuk tidak didasarkan atas kebutuhan publik; (ii) prakiraan harga tidka sesuai dengan rata-rata harga pasar atau pemecahan alternatif harga yang lebih murah ditiadakan; (iii) pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk memonitor. Rancangan pengadaan barang/jasa mengandalkan persaingan lokal; (iv) tidak ada rancangan alternatif antikorupsi di dalam desan proyeknya (Ibid. 309).
Gejala adanya manipulasi kelihatan: (i) ketika membuat undangan penawaran tender tidak diiklankan secara luas; (ii) tidak memberi informasi-informasi memadai tapi sulit diakses atau harus dengan password; (iii) undangan diberikan atau diumumkan dalam tenggang waktu yang tidak memungkinkan membuat persiapan yang mencukupi; (iv) formulir dokumen-dokumen penawaran tidak menggunakan standar resmi sehingga memungkinkan penggunaan kriteria evaluasi yang sewenang-wenang untuk menentukan syarat-syarat kontrak demi peserta yang dikehendaki; (v) dokumen penawaran tidak memberi instruksi jelas tentang bagaimana mempersiapkan penawaran atau struktur harga penawarannya; (vi) tenggat waktu yang diberikan antara penyerahan penawaran dan pembukaan penawaran publik tidak umum atau ada perubahan tempat penyerahan penawaran tanpa diberitahukan kepada semua peserta.
Pengadaan barang/jasa memperhitungkan syarat-syarat yang menopang transparansi. Syarat-syarat itu setidaknya meliputi tiga hal di bawah ini: (i) kompetensi, integritas pejabat publik dan perjanjian integritas; (ii) dana digunakan sesuai dengan tujuan dan pengembangan mekanisme kontrol; (iii) peran media, civil society dan whistle-blowers.

E.      Transparansi: Kompetensi Pejabat Publik dan Perjanjian Integritas
Untuk mencegah konflik kepentingan di dalam pengambilan keputusan publik, pihak pejabat publik diminta membuat pernyataan tentang empat hal: (i) pejabat publik harus menyadari situasi dan menyaring hubungan-hubungan yang berisiko; (ii) membuat laporan daftar kekayaan secara berkala supaya bisa dinilai apakah ada peningkatan kekayaan yang bisa menjadi petunjuk mencurigakan adanya konflik kepentingan atau korupsi (Bribery in Public Procurement, 2007:58). (iii) pejabat publik diminta untuk membuat pernyataan tertulis bahwa tidak memberikan informasi konfidensial atau favoritisme kepada kontraktor; (iv) peserta tender juga harus menyerahkan pernyataan bahwa dirinya tidak berusaha mencari bocoran informasi konfidensial dan bisa menunjukkan bahwa ia bersih atau tidak mendapatkan bocoran.
Kompetensi leadership menuntut bahwa pejabat publik memiliki keterampilan dan perancangan, negoisasi serta cepat menentukan perubahan manajemen agar mudah menumbuhkan kepercayaan. Untuk menginjgatkan pentingnya standar etika, pejabat publik dan rekanan swasta diminta untuk membuat Perjanjian Integritas sebagai alat komitmen integritas yang bisa dipercaya. Tujuannya adalah menjamin agar baik pemerintah maupun kontraktor tidak bermain curang atau korupsi di dalam proses pengadaan barang/jasa. Perjanjian integritas ini merupakan perjanjian antara pemerintah dan semua peserta tender untuk tidak membayar, menawarkan, meminta atau menerima suap, atau melakukan kolusi antarpesaing dalam rangka mendapatkan kontrak atau dalam pelaksanaan kontrak.
Pemerintah harus meminta standar integritas yang jelas kepada pihak swasta. Bentuk standar integritas itu ialah ada catatan umpan balik, evaluasi tentang pengalaman, dan memilik sejarah positif sebagai penyedia barang/jasa. Pemerintah harus tegas dan jelas menentukan standar integritas dalam seluruh proses pengadaan barnag/jasa dengan mendasarkan pada kriteria objektif dan diketahui pihak-pihak yang ambil bagian di dalam tender.

F.      Tujuan Dana Publik dan Pengembangan Mekanisme Kontrol
Pemerintah harus menjadi bahwa dana publik yang digunakan di dalam pengadaan barang/jasa sesuai dengan tujuan-tujuan yang dimaksudkan (OECD Principles, 2009:11). Kriterium menjawab kebutuhan publik dipakai untuk melokalisir konflik kepentingan yang dihadapi pejabat publik. Alokasi dana bisa disalahgunakan untuk kepentingan kelompok, partai politik, organisasi keagamaan atau organisasi alumninya. Sasaran proyek perlu di evaluasi secara ketat. Pemborosan-pemborosan atau alokasi dana sangat rawan korupsi dan kolusi, terutama pada akhir tahun anggaran dimana sasaran sering kali tidak tepat, atau ada kecenderungan asal menghabiskan anggaran.
Pengawasan manajemen keuangan harus relevan dan optimal oleh lembaga audit internal, dan juga oleh Badan Pemeriksa Keuangan serta DPR. Pemeriksaan tidak hanya dibatasi dalam scope memverifikasi aspek legilitas dari keputusan pembelanjaan saja, tetapi juga harus memeriksa apakah perencanaan sungguh menjawab kebutuhan publik. Mekanisme kontrol akan efektif bila memperhitungkan tiga hal: laporan jelas, menggunakan sistem elektronik, dan budget mudah dikontrol (Ibid. OECD, Principles, 29).
Pengembangan mekanisme kontrol untuk menjamin transparansi itu akan semakin mempunyai dampak yang luas bila memperhitungkan kekuatan media. Media sangat berperan mendukung bekerjanya mekanisme whitstle-blowing. Whistle-blower akan lemah bila tidak mendapat dukungan media. Umpan balik masyarakat sangat dibutuhkan karena sekaligus berfungsi sebagai pengawasan dan penilaian terhadap pelayanan publik.

G.     Transparansi Berkat Media, Civil Society, dan Whistle-Brown
Media elektronik dan komputer memungkinkan pertukaran informasi dalam waktu riil yang singkat. Penggunaan teknologi informasi di dalam adminitrasi publik sangat membantu memecahkan banyak masalah, terutama memungkinkan pemerintah untuk mereorganisasi prosedur, membuat informasi semakin mudah diakses, dan mengurangi biaya operasional (OECD, Fighting Corruption and Promoting Integrity in Publik Procurement, 2005:90). E-Procurement adalah proses pengadaan barang dan jasa bagi kepentingan publik dengan menggunakan internet sebagai mekanisme untuk memfasilitasi atau menyelesaikan transaksi (Ibid. 223).
Civil society memegang peran penting sebagai salah satu sumber dalam mendefinisikan kebutuhan publik dan tuntutan-tuntutan yang perlu dikonsultasikan. Mereka juga diikutsertakan di dalam pengawasan dan evaluasi pengiriman atau penyelesaian barang/jasa/pekerjaan. Peran civil society sangat besar di dalam upaya pemberantasan korupsi yang menggerogoti pengadaan barang/jasa. Kelompok civil society tertentu akan lebih cocok mengawasi tahap tertentu pengadaan barang/jasa. Peran whistle-blower sangat penting untuk memecah situasi kerahasiaan atau tutup mulut yang dipaksakan oleh tindak korupsi atau konflik kepentingan (J.L. Fleishman, 1981:206-218). Di dalam upaya meniupkan peluit itu, sebetulnya ada tiga hal yang mau disingkap, yaitu ada ketidaksepakatan pelanggaran loyalitas, dan tindakan menuduh. Jadi dengan penyingkapan itu informasi yang masuk mau mengingatkan adanya tanda risiko korupsi atau konflik kepentingan.
Untuk mengubah budaya diam, secara internal pemerintah harus membangun mekanisme perlindungan whistle-blowers dengan menggariskan prosedur yang mudah diikuti. Dengan belajar dari rekomendasi Komisi Standar Kehidupan Publik Pemerintahan Inggris, akan sangat bermanfaat untuk regulasi perlindungan whistle-blowers bila kita mencermati beberapa langkahnya (OECD Working Papers, 2000:14): (i) harus ada pernyataan tegas bahwa pelaporan pelanggaran korupsi akan ditanggapi serius dalam organisasi asal indikasinya bisa dipertanggungjawabkan; (ii) konfidensialitas pelapor dilindungi karena informasinya memang diharapkan dan memberi kesempatan mengemukakan keprihatinan itu diluar jalur sturktur manajemem; (iii) sanksi akan diberikan terhadap siapa saya yang membuat laporan palsu atau tuduhan jahat; (iv) memberi indikasi cara yang baik bagaimana keprihatinan itu akan diangkat di luar organisasi.

H.      Transparansi Menghadapi Korupsi Kartel-Elite
Korupsi kartel-elite biasanya mendapat dukungan jaringan politik (partai politik), ekonomi (pengusaha), aparat penegak hukum, dan birokrasi dalam situasi sosial-politik yang ditandai dengan ciri-ciri (M. Johnston, 2005:89): (i) para pemimpin menghadapi persaingan politik dalam lembaga-lembaga yang masih lemah; (ii) sistem peradilan penuh kompromi atau korup; (iii) partai politik tidak benar-benar mengakar dalam masyarakat, tapi lebih mewakili elite yang bersaing; (iv) birokrasi terlau besar dan rentan korupsi. Maka suasana politik penuh risiko dan ketidakpastian.
Korupsi kartel-elite bukan hanya masalah penyalahgunaan kepercayaan oleh kekuasaan politik untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi korupsi jenis ini menjadi cara yang dipakai elite untuk menggalang dukungan politik dari masyarakat serta memenangkan kerjasama dengan lembaga legislatif, penegak hukum, dan birokrasi (F. London, 2008:10). Korupsi jenis ini biasanya juga menggunakan strategi komunikasi politik yang canggih untuk merekayasa opini publik. Dalam setiap investigasi terhadap dugaan korupsi jenis kartel-elite ini, akhirnya yang dijadikan kambing hitam hanya oknum atau salah satu pengurusnya, bahkan lebih sering mereka dilindungi. Oleh karena itu harus ada transparansi politik, manajemen, dan hukum.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »