Multikultural Dalam Pendidikan Anak Usia Dini


A.    Pendahuluan
Multikulturalisme secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sistem nilai atau kebijakan yang menghargai keragaman dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada kesediaan untuk menerima dan menghargai keberadaan kelompok lain yang berbeda suku, etnik dan gender maupun agama. Multikultural yang lahir sekitar awal tahun 1970-an di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika dan diikuti berbagai bangsa lainnya di dunia, termasuk Indonesia itu, pada hakikatnya merupakan pengalaman akan kebhinekaan budaya dan kemajemukan suku, etnik, agama dan lainnya, serta memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh penyaluran dan aspresiasi yang secara hukum dituangkan dalam berbagai peraturan perundangan dan kebijakan lainnya. Dengan cara demikian, maka seluruh lapisan masyarakat yang bertempat tinggal dalam sebuah komunitas merasa diakui, dihargai dan diperlakukan secara demokratis dan adil.
Multikultural ini dibangun paling berdasarkan tiga asas atau prinsip sebagai beriktu. Pertama, pengakuan terhadap manusia yang tumbuh dan bersar dalam suatu masyarakat yang memiliki tatanan adab dan budaya tertentu yang terkadang berbeda dengan tatanan adab dan budaya di daerah lain. Berdasarkan prinsip ini, masyarakat mengorganisasikan kehidupan dan hubungan sosial dalam suatu tatanan tertentu dimana sistem nilai dan makna diterapkan dalam berbagai ungkapan dan simbol budaya. Kedua, kebudayaan yang beraneka ragam dan berbeda-beda itu memperlihatkan adanya visi dan sistem makna yang berbeda-beda tentang kehidupan yang baik dan buruk, yang benar dan yang salah, yang elok dan yang tidak elok. Masing-masing mewujudkan kemampuan tertentu dalam menanggapi dan memberikan perasaan tertentu dalam berhadapan dengan berbagai peristiwa dalam kemanusiaan. Namun demikian, karena masing-masing kebudayaan tersebut memiliki keterbatasan, kelemahan dan kekurangan tertentu, maka diperlukan adanya kebudayaan lain untuk memahami kehidupan dan mengembangkan kehidupan yang lebih baik. Ketiga, setiap kebudayaan secara internal bersifat majemuk dan selalu mencerminkan terjadinya dialog yang berkelanjutan antara berbagai tradisi yang berbeda-beda.
Dengan demikian, multikulturalisme pada hakikatnya merupakan politik kebudayaan dalam rangka memperjuangkan nasib sekelompok masyarakat (minoritas) yang memiliki perbedaan budaya: agama, etnik, suku, dan lain sebagainya yang tinggal dalam suatu negara yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan yang dianut oleh kelompok minoritas tersebut. Agar kebudayaan yang dianut oleh kelompok minoritas tersebut tidak diganggu atau terancam punah, serta berbenturan dengan budaya yang dianut kelompok minoritas, maka diperlukan adanya budaya lain yang berfungsi sebagai pengikat, penghubung dan pengaman sera menjamin keberlanjutan dan keamanan budaya yang dianut kalangan minoritas tersebut. Dalam kaitan ini, maka selain sebagai kebijakan yang bersifat politik, multikultural juga kebijakan yangbersifat sosial, moral dan kultural. Budaya lain yang berfungsi sebagai pengikat, penghubung dan pengaman eksistensi keragaman budaya tersebut adalah kesamaan mengemukakan pendapat dan lainnya (demokrasi), persamaan di depan hukum (equal before law), kebebasan (freedom and liberty) dan pengakuan atas adanya keberagaman (pluralisme).
Selanjutnya diketahui, bahwa budaya lain sebagai pengikat, penghubung dan pengaman eksistensi keragaman budaya tersebut: demokrasi, persamaan, kebebasan dan pluralisme tersebut masih mengalami perdebatan dikalangan para pakar pada umumnya, dan dari kalangan pakar Muslim atau ulama pada khususnya, sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap nilai-nilai ajaran Islam.

B.     Demokrasi
Demokrasi sebagai nilai pengaman bagi multikultural dalam hubungannya dnegna ajaran Islam serta penerapannya di Indonesia telah menimbulkan perdebatan di kalangan para pakar pada uumnya dan dari kalangan tokoh Islam pada khususnya. Hasan al-Bannam Abul A’la al-Maududi atau Naqiyuddin al-Nabhani milsanya berpendapat, bahwa demokrasi itu tidak sesuai dengan Islam. Selanjutnya walaupun dari kalangan pemikir Islam, misalnya ulama al-Azhar dan tokoh Ikhwan al-Muslimin, Muhammad al-Ghazali dan kalangan orientalis seperti John Esposito, berpendapat bahwa syura adalah suatu bentuk demokorasi Islam dan dapa tmenjadi titik tolak demokrasi dalam Islam. Tetapi ulama lain, seperti Syarkawi, membantahnya dengang mengatakan, bahwa syura bukanlah demokrasi dalam pengertian umum dewasa ini. Paling tidak masalah kompatabilitas antara Islam dengan demokrasi merupakan isi yang diperdebatkan, baik dikalangan sarjana Barat maupun Muslim sendiri. Di Indonesia, Ustad Abu Abakar Ba’asyir dari Pesantren Ngruki dan pendiri Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), menulis kupasan yang dimuat dalam buku catatan dari penjaranya bahwa demokrasi, bersama-sama dengan nasionalisme dan sekularisme yang berasal dari Bara, adalah paham syirik karena menyekutukan kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan rakyat. Tetapi pemikir lama Indonesia, Muhammad Natsir yang pernah menjadi Ketua Umum Partai Masyumi yang disebut sebagai pengusung demokrasi di Indonesia itu, menerima konsep demokrasi dengan mensyaratkan prinsip kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang disebutnya sebagai teo-demokrasi, atau demokrasi yang berdasarkan Ketuhanan.
Akar penyebab timbulnya perdebatan tersebut antara lain, karena demokrasi secara historis dan sosio kulutral lahir dari rahim budaya Barat yang sekularis, liberalistik, dan anthropo-centris. Demokkrasi lahir sebagai hasil dari protes keras dan tuntutan kebebasan mengemukakan pendapat dan beraktualisasi dalma segala bidang kehidupan, yang dibelenggu, dikekang, dirampas dan dikuasai otoritas kaum agama dan kaum feodalistik. Demokrasi meniscayakan adanya kedaulatan ditangan masyarakat. Sedangkan dalam Islam kedaulatan berada di tangan Tuhan. Islam menginginkan agar kedaulatan Tuhan tidak dirampas oleh kedaulatan manusia.
Jika kedua pendapat tersebut dibandingkan antara satu dan lainnya. Nampak masih mengandung kelebihan dan kelemahan. Kelebihan demokrasi yang menegaskan kedaulatan di tangan manusia terdapat segi kekuatan dari segi pelaksanaannya, yakni dapat dengan mudah disesuaikan dengan keinginan manusia sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi, dan dalam pelaksanaannya memang dilakukan oleh manusia. Sedangkan kelemahannya antara lain terlatak pada kemungkinan terjadinya keharusan demokrasi memperturutan kehendak manusia semata-mata yang berdasarkan kekuatan akal pikiran, situasi dan kondisi yang dihadapinya semata-mata, yang terkadang bisa baik dan bisa buruk, sesuai dengan sifat dasar manusia yang tidak selamanya baik dan tidak selamanya buruk, dan pada gilirannya akan mengarah pada dmeokrasi liberal sebagaimana yang berkembang di Barat. Selanjutnya kelompok yang mengatakan kedaulatan tangan Tuhan dan menolak demokrasi juga mengandung kekuatan dari segi, bahwa apa yang dilaksanakan berdasarkan kehendak Tuhan sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadis, dengan cara menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara, dan menjadikan negara sebagai negara Islam. Sedangkan kelemahannya terletak pada soal isi atau kontennya yang tidak secara teknis, Al-Qur’an dan hadis tidak mengatur secara terperinci, melainkan hanya garis-garis besarnya saja, seperti konsep musyawarah, persamaan kedudukan manusia dihadapan hukum dan sebagainya, sehingga akan sulit dilaksanakan. Selain itu, kalaupun kedaulatan Tuhan itu berdasarkan Al-Qur’an, namun dalam pelaksanaannya tetap membutuhkan ijtihad manusia. Mengingat masalah demokrasi adalah masalah mu’amalah yang di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah tidak diaturnya secara pasti, dan banyak diserahkan kepada hasil itjihad manusia.
Untuk yang ideal adalah demokrasi yang ditawarkan oleh Muhammad Natsir, yang pada hakikatnya memadukan antara kehendak Tuhan dengan kehendak manusia. Dengan cara demikian, demokrasi tersebut tidak terjerumus ke dalam bentuk teokrasi sebagaimana yang dipraktikkan di Vatikan, dan tidka pula terjerumus pada liberalisasi individual sebagaimana yang terjadi di Barat, atau otoriter masyarakat (communitas) sebagaimana yang terjadi pada masyarakat komunis. Dengan kata lain, demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi yang berdaarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana yang dipraktikkan di Indonesia. Model demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia ini, adalah demokrasi yang paling sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia yang pluralistik, yang di dalamnnya bukan hanya terdiri dari bangsa yang menganut keragaman agama, etnis, suku, budaya dan lain sebagainya.
Pada masa pemerintahan Orde Baru (1966-1993), para pemimpin intelektual Muslim terus mengupayakan dukungan terhadap demokrasi. Dukungan tersebut mereka berikan dengan dua alasan. Pertama, karena nilai-nilainya sesuai dengan nilai-nilai Islam tentang masyarakat. Kedua, demokrasi merupakan cara yang tepat untuk mengatikulasikan aspirasi dan kepentingan-kepentingan Islam, karena umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, sementara sistem yang demokratis pada dasarnya adalah sistem kekuasaan mayoritas.
Dalam hubungan ini. Masykuri Abdillah berpendapat, bahwa secara teologis penerimaan para intelektual Muslim terhadap demokrasi didasarkan pada ajaran-ajaran Al-Qur’an dan praktik historis masa Nabi dan al-khulafa al-Rasyidun. Sebagaimana intelektual Mulsim di negara-negara lainnya yang mendukung demokrasi, mereka juga mendasarkan pendapatnya pada Al-Qur’an (Ali ‘Imran [3] : 159): “wa syawirhum fi al-amr” (dan musyawarahlah dengan mereka dalam persoalan itu) dan Al-Qur’an (Al-Syura [42] “ 38): “wa amruhum syura bainahum” (danurusan mereka diputuskan melalui musyawarah di antara mereka). Mereka mempunyai konsep sendiri tentang demokrasi, yang tidak sama dengan demokrasi liberal (yang mengutamakan kebebasan individu) dan demokrasi sosial (yang mengutamakan pendapat orang banyak: masyarakat).
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya setelah kehancuran Komunis di Uni Soviet, dan kuatnya arus liberalisasi global yang melanda dunia Islam, serta kurangnya perjuangan dari kelompok Islam untuk memperjuangkan demokrasi berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan atau demokrasi sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, menyebabkan dmeokrasi yang berkembang dan kuat pengaruhnya saat ini, termasuk demokrasi yang diterapkan di Indonesia dan di negara-negara lainnya adalah demokrasi liberal. Adanya kecenderungan menguatnya demokrasi liberal ini, Dawam Rahardjo dalam artikelnya berjudul “Islam dan Demokrasi” mengatakan, bawaha walaupun banyak negara di dunia, termuask negara-negara Islam belum sepenuhnya demokrat atau liberal, namun seluruh dunia sedang dalam proses menuju ke arah sistem demokrasi liberal. Barnagkali proses demokratisasi di dunia Islam termasuk dalam gelombang keempat demokrasi, sesudah gelombang ketiga di negara-negara pascakomunis.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, maka dalam rangka pelaksanaan paham multikulturalisme, maka pilar demokrasi yang harus diterapkan adalah bukan demokrasi liberal yang berbasis pada kebebasan dan dominasi individu, dan bukan pula demokrasi sosial yang berbasis pada dominasi sosial, melainkan demokrasi yang memadukan antara kepentingan individu dan sosial, antara nilai-nilai yang berasal dari Tuhan, dan nilai-nilai yang berasal dari manusia, antara anthropo-centris dan teo-centris secara seimbang. Inilah model multikulturalisme yang dikehendak ajaran Islam. Hal yang demikian perlu ditegaskan, karena disamping terdapat kelompok yang menerima multikulturalisme, juga terdapat kelompok yang menentangnya. Di Amerika Serikat cmisalnya, nation state harus diselematkan dari munculnya kaum pendatang yang membawa aneka budaya dan kepercayaan agama berbeda, telah mengancam eksistensi kebudayaan nasional dan nasionalisme. Ancaman konflik sosial dan disintegrasi mendorong negara-negara tertentu di Barat mengambil kebijakan multikulturalisme, walaupun harus mendapatkan reaksi dari masyarakat luas. Ancaman lain yang mendorong lahirnya multikulturalisme ialah ancaman terhadap liberalisme dan demokrasi (liberal), dan dengan sendirinya terhadap kebijakan terhadap ekonomi neo liberalisme. Untuk itu diperlukan sistem pengawasan terhadpa masyarakat multibudaya, multietnik, multiagama dan multiras. Dengan demikian yang menolak multikulturalisme berdasakan pada kekhawatiran atau ketakutan identitas budaya negaranya menjadi lebur, hilang atau menyatu ke dalam budaya yang datang dari luar; sebaliknya yang menerima multikulturalisme, khawatir kehadiran mereka yang berbeda budayanya itu mendapatkankan penolakan dari masyarakat mayoritas yang memiliki nilai budaya yang berbeda dengan budaya yang dianut para pendatang atau kelompok minoritas. Gejala kekhawatiran kelompok yang menolak multikulturalisme yang berbasis pada nation state ini juga cukup beralasan jika dilihat dari fakta kehidupan sosila yang terjadi pada sebuah bangsa. Di Indonesia saat ini, misalnya, sering muncul sikap yang merendahkan budaya bangsa sendiri, kurang menghargai hasil karya bangsa sendiri: makanan, pakaian, kesenian, pola pikir, dan lain sebagainya. Lebih dari itu terdapat pula gejala yang mengkhawatirkan, yaitu timbulnya sikap yang merendahkan atau menggadaikan bangsa sendiri. Gejala ini tampak terlihat pada sebagian masyarakat yang tingal di kota-kota besar, dan mereka berlatar belakang pendidikan Barat yang hidup dalam budaya yang liberal. Multikulturalisme Indonesia seharusnya bukan multikulturalisme yang seperti itu, melainkan multikulturalisme yang menjaga keseimbangan antara kepentingan bangsa dan negara dengan kepentingan bangsa-bangsa lain secara adil, seimbang dan proporsional, yakni bahwa masyarakat penganut budaya mayoritas: agama, etnis, suku, dan budaya yang lebih besar jumlahnya sudah sewajarnya jika mendapatkan perlakuan yang lebih besar dari bangsa yang minoritas, terutama untuk mendapatkan jabatan-jabatan yang lebih besar dan strategis. Untuk diangkat menjadi pegawai negeri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan jabatna Menteri, misalnya, bisa saja dari latar belakang agama, etnis, suku dan agama apa saja. Namun yang mayoritas secara proposional harus mendapatkan bagian lebih banyak dari yang minoritas. Dan dan khusus untuk jabatan sebagai Presiden misalnya, seharusnya tetap dari kelompok agama, etnis dan budaya yang mayoritas. Hal ini bisa dipahami, karena jumlah mereka lebih besar, yang dengan sendirinya, suara mereka lebih besar, kontribusi, peran dan tanggung jawab mereka juga lebih besar dibandingkan yang minoritas.

C.    Persamaan
Persamaan di antara manusia merupakan salah satu hak yang paling fundamental bagi warga negara, dan merupakan salah satu dari tiga nilai yang dituntut oleh Perancis. Nilai ini selanjutnya menjadi pilar yang terpenting bagi tegaknya konsep multikulturalisme. Sebagaimana halnya demokrasi, nilai persamaan ini juga muncul untuk menentang sistem dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh aristokrasi dan oligarki, serta merupakan perlawanan terhadap hierarki dan diskriminasi sosial uang sebagian masih ada hingga sekarang, tidak hanya di Dunia Ketiga, tetapi juga di negara-negara yang demokratis. Sekarang ini, ketidaksamaan itu boleh jadi berhubungan dengan kekuasaan, kekayaan atau pendapatan, ras, gender, agama dan kebudayaan,tetapi distribusi penghasilan yang tidak sama menjadi sumber utama ketegangan dan terkait dalam bentuk-bentuk ketidaksamaan yang lain, ketidaksamaan bisa terjadi secara de facto (dalam praktik), dan dalam beberapa hal terjadi secara bersamaan dengan secara de jure (dalam hukum). Pada tahun 1990, menurut The Oxford Companion to Politics of the World, ketidaksamaan diungkapkan sebagai dasar konflik di beberapa negara, seperti Afrika Selatan, Uni Soviet, Amerika Serikat dan India; dan ketidaksamaan hak-hak perempuan menjadi perhatian khusus di Afrika dan dunia Islam.
Namun demikian, timbul perdebatan di sekitar apa saja yang dipersamakan di antara sesama manusia. Mengingat persamaan bisa terjadi karena asal usul dan bahan kejadiannya, proses penciptaannya, bahan makanan dan pakaiannya, jenis jelaminnya, bahasanya, budayanya dan sebagainya, atau persamaan tersebut dalam hal pemberian kesempatan (equality of opporunity), persamaan di hadapan hukum (equlity berfore law). Masyarakat Barat misalnya lebihmengakai “persamaan di muka hukum” (equality berfore law), yang secara aktual menjadi tujuan politik yang menandai masyarakat demokratis. Konsep persamaan tersebut, mengacu bukan pada pengertian yang konkret, melainkan lebih menunjuk pada pernyataan etis, di mana mereka adalah setara dan harus mendapatkan perlakukan yang sama. Kaum liberal klasik hanya membenarkan persamaan di muka hukum. Mereka mempertahankan bahwa gerakan menuju persamaan akan dianggap sebagai tidak dibenarkan, hika hal ini menuntut pembayaran pendapat yang sama bagi semua individu yang memberikan kontribusi yang berbeda-beda dalam proses ekonomi.
Selanjutnya dalam membicarakan prinsip persamaan, para teoritikus politik dan sosial berupaya membedakan antara ketidaksamaan secara alamiah dan secara konvensional. Ketidaksamaan alamiah adalah sesuatu yang berbeda dalam seks, umur, kekuatan dan sebagainya; sedangkan ketidaksamaan kovensional mengacu pada perbedaan-perbedaan dalam hal pendapatan, status, kekuasaan, dan seterusnya. Perbedaan inilah yang digagas oleh Rousseau. Yakni menerima ketidaksamaan alamiah, namun menolak ketidaksamaan kovensional, karena yang berlakangan berubah-ubah sedangkan yang pertama tidak berubah.
Konsep persamaan tersebut berbeda dengan kaum liberal klasik yang hanya membenarkan persamaan di muka hukum (equality berfore the law). Sedangkan kaum egalitarian setuju dengan persamaan yang tidak hanya dalam bidang hukum dan politik, tetapi juga dalam bidang sosial dan ekonomi. Dalam hubungan ini, kaum egalitarian berpendapat: “bahwa semua orang harus diperlakukan sama dalam segala hal, karena mereka memang sama”. Namun hal ini berbeda dengan pandangan kaum Komunis yang mengatakan persamaan sebagai “form each according to his ability, to each according to his need” (dari masing-masing menurut kemampuannya, untuk masing-masing menurut kebutuhannya).
Dalam pada itu, konsep persamaan yang modern mencoba menggabungkan antara tradisi liberal klasik dengan tradisi egalitarian yang bertumpu pada ide tentang persamaan dalam kesempatan (equality of opportunity). Menurut kelompok ini, bahwa tuntutan persamaan adalah untuk menuntut penghapusan hambatan-hambatan yang terdapat dalam cara individu mewujudkan peotensinya; peningkatan kesempatan adalah juga peningkatan dalam kebebasan. Doktrin ini juga menuntut penghapusan hukum dan hak-hak istimewa lain yang tidak dibenarkan, yang hanya menyediakan posisi-posisi sosial, ekonomi dan politik bagi kelas, ras atau seks tertentu. Dalam pemahaman yang demikian itu, maka persamaan kesempatan dalam pendidikan merupaka prioritas utama, karena pendidikan menciptakan mobilitas sosial, dan semakin tinggi pendidikan hampir dipastikan dalam meningkatkan prestise, kedudukan, kemampuan dan kekayaan yang tinggi.
Para intelektual Muslim di Indonesia pada umumnya mendukung prinsip nilai persamaan ini, dan dipersamakan dengan konsep al-musawah yang merupakan karakter yang bersifat fitrah alamiah, walaupun mereka juga mempunyai berbagai perbedaan konsep mengenai prinsip ini. Harun Nasution dan Thir Azhari misalnya mendasarkan argumentasinya pada firman Allah Swt (QS Al-Hujarat [49]: 13) yang artinya: “Hai manusia Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan permepuan, dan membuatmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kami saling kenal. Bahwasanya yang paling mulia diantara kamus di sisi Allah adalah yang paling bertakwa”. Selain itu mereka juga mengutip hadis Nabi yang artinya: Hai manusia, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan leluhurmu adalah satu. Yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Tidak ada kelebihan orang Arab di atas orang selain Arab, tidak ada juga kelebihan orang selain Arab di atas orang Arab, tidak juga bagi orang yang kulit putih di atas orang kulit hitam, juga tidak orang kulit hitam di atas orang kulit putih, kecuali karena takwanya”.
Berdasarkan pada ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut di atas, para sarjana dan ulama Islam pada umumnya berpendapat bahwa Tuhan menciptakan manusia dari pasangan Adam dan Hawa; dan walaupun saat ini manusia terdiri dari bermacam bangsa, ras, agama dan kulit yang berbeda-beda, pada dasarnya mereka bersaudara dan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Yang membedakan di antara mereka bukan hal-hal yang bersifat kontemporer, dan fisik, seperti pangkat, kedudukan, kekayaan, kecantikan, kesukuan, bentuk tubuh, dan lain sebagainya, melainkan hal-hal yang bersifat kualitatif, moralitas, spritualitas, dan amal perbuatannya; yakni keimanan, ketaqwaan, dan ketinggian akhlaknya.
Berdasarkan kenyataan ini, maka sebagian pakar Islam berpendapat bahwa Islam adalah agama egalitarianisme dalam pengertiannya yang luas yang berkaitan dengan keadilan, eksistensi, demokrasi dan persamaan prinsip-prinsip musyawarah, kebijaksanaan, dan perwakilan. Selain itu yang berkaitan dengan kesadaran hukum, termasuk di dalamnya, bahwa tidak seorangpun dibenarkan bertindak diluar hukum. Egalitarianisme dan kesadaran hukum inilah yang telah dipraktikkan oleh Nabi dalam misi kepemimpinannya untuk mengembakan komunitas negara yang konstitusional, sebagaimana yang tercermin dalam piagam Madinah sesuai pula yang ditegaskan oleh Nabi dalam hadisnya: “Andaikata Fatimah bin Muhammad mencuri, niscaya akan potong tangannya”.
Perdebatan terjadi di kalangan intelektual Muslim di Indonesia berkenaan dengan kedudukan non-Muslim yang berada dalam negara Islam. Dalam kaitan ini para intelektual Muslim membaginya menjadi tiga. Pertama, merkea yang masih mempertahankan konsep dzimmi dan harbi, tetap mendukung perlindungan dan jaminan sepenuhnya pada hak-hak dzimmi. Kedua, mereka yang menolak konsep ini untuk menghindari diskriminasi terhadap warga negara. Ketiga, mereka yang menolak konsep ini tetap masih mempertahankan posisi tertentu (kepala negara) untuk diduduki oleh seorang Muslim. Pendapat pertama didukung antara lain oleh Ali Yafie dan Amin Rais. Menurut Yafie dzimmi harus membayar pajak (jizyah) agar mendapatkan keamanan dan perlindungan dari umat Islam, tetapi dia tidak setuju untuk memperlakukan mereka secara diskriminatif. Mereka mempunyai hak yang sama seperti orang Islam, termasuk hak untuk menjadi menteri, atau posisi-posisi lain kecuali menjadi kepala negara atau khalifah. Secara historis, menurut Ali Yafie, beberapa orang Yahudi dan Kristen telah diangkat menjadi menteri dan menduduki jabatan lain di masa dinasti Abbasiyah dan Umayyah Non-Muslim tidak dapat menduduki jabatan kepala negara, karena kedudukan merupakan wakil Nabi untuk menegakkan urusan-urusan agama serta urusan pemerintahan sekuler (khilafah an al-rasul fi igamah al-umur al-in wasiya al-dunyawiyya) Pendapatnya ini didasarkan pada ayat Al-Qur’an (QS Ali Imran [3}: 28): “Jangalah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali”. Menghadapi kritik bahwa non-Muslim ditempatkan sebagai kelas dua di negara-negara Islam karena mereka tidak mempunyai hak untuk menjadi kepala negara, dia mengatakan bahwa keadaan yang demikian juga terjadi di negara-negara demokratis seperti Amerika Serikat. Namun demikian sebagaimana Yafie, Amin Rais mengatakan, bahwa hak-hak non-Muslim keduanya setuju bahwa posisi kepala negara sebuah negara Islam dipegang oleh seorang Muslim. Jika hal ini dianggap sebagai perlakuan diskriminatif perlakuan semacam itu, kurang juga terjadi di negara-negara demokrasi meskipun tidak tertulis dalam undang-undang. Sejalan dengan pendapat ini Nurkholis Madjid mengungkapkan lebih jauh bahwa secara sosiologis tidak mungkin non-Muslim untuk menjadi presiden di negara Islam, dan secara teologis dia merespon pendapat Ibn Taimiyah yang menyatakan tidak setuju dengan kepemimpinan non-Muslim di atas kaum muslimin namun dia mengingatkan bahwa keadilan, terlepas siapa yang melaksanakannya, adalah lebih baik dari pada kezaliman, siapa pun yang melakukannya.
Dari paparan terebut di atas, terlihat bahwa agama Islam adalah agama yang sangat mendukung adanya persamaan umat manusia dalam hal mendapatkan perlakukan hukum, mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, pekerjaan, memiliki harta benda, dan menduduki berbagai jabatan. Perbedaan agama, etnis, suku, budaya, warna kulit dan lain sebagainya tidak dapat dijadikan alasan untuk memperlakukan merekca secara diskriminatif atau memberikan perlakuan yang berbeda. Islam memandang, bahwa berbagai perbedaan tersebut merupakan sunnatullah dan fitrah, yakni seseuatu keniscayaan dan merupakan ciptaan Tuhan. Memperlakukan mereka secara diskriminatif mengandung arti memperlakukan ciptaan Tuhan secara diskriminatif. Tindakan ini bukan saja menentang kehendak Tuhan, melainkan juga akan merugikan tidak hanya bagi yang diperlakukan secara diskriminatif, melainkan bagi orang yang memperlakukan diskriminatif tersebut. Karena perlakuan diskrimantif mengandung arti menghalangi terjadinya aktualisasi potensi yang dimiliki makhluk Tuhan yang mengakibatkan sebuah kerugian. Sikap diskriminatif terhadap orang kulit hitam yang pernah dilakukan di beberapa negara minoritas menyebabkan potensi, bakat, keunggulan dan keistimewaan yang dimilik orang kulit hitam tersebut menjadi tertutup. Namun setelah perlakukan diskriminatif tersebut dicabut dan diganti dengan prinsip kesamaan dalam berbagai bidang; sosial, politik, ekonomi, seni budaya, dan lainnya, ternyata dari orang kuli hitam ini lahir bintang-bintang terkenal dalam berbagai bidang kehidupan: penyanyi, olahragawan, bahkan pemimpin negara. Berbagai konsep yang membatasi dan cenderung deskriminatif terhadap mereka yang berbeda agama, warna kulit dan lainnya sebagaimana terlihat pada konsep ahli dzimmi harus dipahami tidak saja dari segi tekstual normatif belaka, melainkan dari segi sejarah dan sosial yang melatarbelakangi lahirnya konsep tersebut. Para pakar Muslim umumnya sepakat untuk tidak lagi menerpakan konsep dzimmi tersebut. Mereka perlu diberikan kesamaan hak dalam segala bidang, termasuk untuk menjadi kepala negara. Dengan demikian, di dalam konsep kesamaan tersebut terdapat pengakuan terhadap adanya kebebasan, kemajemukan, toleransi, keadilan dan kejujuran yang secara keseluruhan merupakan tiang-tiang penyangga yang disediakan ajaran Islam untuk menopang berlakunya prisnip kesamaan dalam rangka menerapkan konsep multikultural.

D.    Kebebasan
Pilar ketiga yang mendukung pelaksanaan nilai multikulturalisme yang juga menopang pelaksanaan demokrasi dan kesamaan sebagaimana tersebut di atas adalah adanya prinsip kebebasan atau kemerdekaan (freedom atau free will). Kebebasan atau kemerdekaan ini dapat didefenisikan sebagai tidak adanya suatu paksaan atau rintangan. Sementara itu, Werner Becker, sebagaimana dikutip Masyukri Abdillah, mendefinisikan kemerdekaan sebagai: seorang yang dalam batas-batas tertentu dapat melakukan atau meninggalkan apa yang dia inginkan
Namun demikian, di kalangan umat Islam, masih mencurigai prinsip kebebasan tersebut, karena prinsip tersebtu sebagaimana juga prinsip demokrasi dan persamaan adalah lahir dari tradisi liberal masyarakat Barat yang menginginkan dapat melakukan apa saja, tanpa dibatas moral, agama, dan lainnya sebagainya. Kebebasan bagi mereka adalah membiarkan segala yang diinginkan manusia sehingga dapat mencapai tujuan hidupnya, berupa kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Dalam rangka kebebasan ini, maka nilai-nilai moral, agama, bahkan hukum harus disesuaikan atau diperbarui agar mendukung terlaksananya kebebasan tersebut. Melalui prinsip kebebasan itu, mereka ingin mengaktualisasikan dan mengeksplorasi seluruh potensi yang dimilikinya hingga menjadi manusia unggul yang dikenal sebagai superman. Tradisi liberal ini pada tahap selanjutnya tidak menerima pertentangan antara kebebasan dan hukum. Pandangan kebebasan ini, antara lain pada pandangan John Lock yang mengatakan bahwa “tujuan hukum bukan untuk menghapus atau mengekang, tetapi untuk melindungi dan memperluas kebebasan. Namun demikian, pandangan masyarakat modern terhadap kebebasan mulai mengalami pergeseran dibandingkan konsep kebebasan versi masyarakat liberal. Menurut masyarakat modern, bahwa kebebasan individu hanya terbatas pada tingkat bahwa suatu hukum memiliki kekuatan memaksa untuk mendikte melakukan perbuatan hukum. Sistem hukum adat misalnya yang hanya menetapkan batasan-batasan terhadap tindakan individu, tindakan menghalangi kemerdekaan karena seorang individu bisa merencanakan untuk menghindarinya. Jika aturan-aturan itu sempurna, tidak diskriminatif dan dapat diperkirakan, maka semau itu dapat diperlakukan sama seperti fenomena alam, dan karena tidak merusak kebebasan.
Lebih lanjut Masykuri Abdillah berpendapat, bahwa dalam wacana kebebasan, kita tidka dapat memisahkannya dair persamaan sebagaimana telah diuraian di atas, karena keduanya saling melengkapi, walaupun kadang-kadang juga ada perbedaan antara keduannya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kebebasan adalah tiadanya halangan dan paksaan, tetap dalam beberapa hal, intevensi negara dibutuhkan untuk mencapai persamaan juga merupakan salah satu hak manusia yang paling dasar. Misalnya, untuk memperoleh pendapatan yang sama di antara para warga negara, negara memberikan prioritas kepada yang miskin dan membatasi ekspansi ekonomi oleh yang kaya. Ide yang mendukung intervensi negara karena alasan-lasan persamana sosial dan ekonomi disebut kebebasan “positif”, sedangkan ide yang menolak intervensi negara dalam segala hal disebut kebebasan “negatif”. Sebagian besar dari versi modern mendukung kebebasan positif.
Dengan demikian, versi yang modern tidak setuju adanya kebebasan atau persamaan yang mutlak. Hal ini sejalan dengan kenyataan saat ini tidak ada satu negara di dunia yang memperbolehkan adanya bentuk kemutlakan. Perhatian terhadap hubungan antara kebebasan dan persamaan ini menimbulkan empat jenis sistem politik. Pertama, disebut “sosialisme” pada saat kebebasan dan persamaan sama-sama dinilai sangat tinggi. Kedua, kapitalisme, yaitu ketika kebebasan dinilai tinggi dan persamaan dinilai rendah. Ketiga, komunisme, dimana kekebasan dianggap bernilai rendah dan bersamaan bernilai tinggi; dan keempat, fasisme, dimana baik kebebasan maupun persamaan dianggap tidak bernilai tinggi.
Islam mengakui dan melindungi kebebasan manusia, karena manusia diberkahi dan dilengkapi dengan kemampuan berpikir yang tidak dmiliki oleh makhluk lain. Namun demikian, para pakar Muslim pada umumnya berpendapat, bahwa kebebasan yang dimiliki manusia itu tidaklah mutlak, karena kemutlakan itu hanya milik Allah. Kebebasan yang dimiliki manusia memiliki batas-batas tertentu, misalnya kebebasan berbicara harus dibatasi oleh ketidakbolehan mengganggu kepentingan umum, kebebasan untuk kaya, tidak boleh membahayakan kepentingan umum, dan sebagainya. Sejalan dengan Nasution, Syafi’i Ma’arif, berpendapat tentang tidak adanya kebebasan mutlak dalam arti seseorang dapat melakukan apa saja yang dikehendaki, karena kebebasan ini dibatasi oleh kepentingan umum yang dimanifestasikan dalam bentuk ucapan, pikiran, perasaan dan perbuatan. Dengan demikian, para intelektual Muslim berpendapat, bahwa tidak ada kebebasan yang mutlak, sebagaimana juga tidak ada persamaan yang mutlak. Kebebasan yang dimiliki manusia dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki oleh orang lain, hukum-hukum, adat istiadat, moral dan agama. Kebebasan yang melanggar batas-batas tersebut akan menyebabkan hilang atau rusaknya kebebasan itu sendiri, karena akan menimbulkan keadaan chaos, kacau balau, dan tidak tertib yang pada gilirannya mengancam kebebasan manusia itu sendiri. Undang-undang, norma hukum, norma adat, tradisi, kebijakan, bahkan agama diturunkan Tuhan dalam rangka mengatur kebebasan atau mengendalikan kebebasan tersebut, agar dapat mencapai tujuan diciptakannya, ykani mewujudkan ketertiban, keamanan, kedamaian, dan kebahagiaan umat manusia. Kebebasan tersebut terkait dengan kebebasan berpikir yang bertanggung jawab, kebebasan agama yang disertai penghargaan terhadap kebebasan beragama pada orang lain, kebebasan berpendapat yang dibatasi oleh kepnetingan umum, kebebasan memperoleh pekerjaan, kedudukan, ekonomi, penghargaan, memilih pasangan hidup, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan lain sebagainya dibatasi oleh kebebasan orang lain dalam hal yang sama, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang, norma hukum, adat istiadat, hati nurani, moral dan agama. Dengan demikian, Islam mendukung sebuah kebebasan yang bertanggung jawab, kebebasan yang dikendalikan oleh kebebasan orang lain, kebebasan yang dibatasi hukum, adat istiadat, moral, dan kesepatakan bersama. Islam tidak menghendaki kebebasan yuang liberal atau kebebasan tanpa batas, karena kebebasan yang demikian itu kebebasan yang tidak beradab, kebebasan yang tidak bermoral dan kebebasan yang menyebabkan timbulnya kehidupan yang kacau balau.

E.     Pluralisme
Pilar keempat yang menopang konsep multikulturalisme adalah prinsip pluralisme, yang secara harfiah berarti keragaman, dan perbedaan atas segala sesuatu yang terjadi di muka bumi: agama, etnis, suku, bahasa, budaya, warna kulit, bahasa, tempat tinggal, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu terjadi baik secara alami, yakni atas takdir atau secara langsung merupakan kehendak Tuhan, maupun terjadi karena adanya proses politik, interaksi, komunikasi, asimilasi dan kovergensi yang disebabkan adanya sesuatu kejadian yang secara antropologis menghendaki adanya kemajemukan tersebut. Dalam ilmu politik, pluralisme antara lain didefinisikan sebagai keberadaan toleransi keberagaman kelompok-kelompok etnis dan budaya dalam suatu masyarakat atau negara, keragaman kepercayaan atau sikap yang ada pada sebuah badan institusi dan sebagainya.
Secara historis, menurut Masykuri Abdillah, bahwa istilah pluralisme di identifikasikan dengan sebuah aliran filsafat, yang menentang konsep negara absolut dan berdaulat. Sementara pluralisme klasik merupakan reaksi terhadap doktrin hukum tentang kedaulatan negara; pluralisme kontemporer yang muncul tahun 1950-an, dikembangkan tidak untuk menentang kedaulatan negara tetapi untuk menentang teori-teori tentang elite. Hal ini merujuk pada definisi plularisme secara politik, yaitu teori yang menentang kekuasaan monilitik negara dan bahkan menganjurkan untuk meningkatkan pelimpahan dan otonomi organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan seseorang dalam masyarakat. Juga, percaya, bahwa kekuasaan harus dibagi diantara partai-partai politik yang ada. Namun, pluralisme yang asli merujuk pada problem masyarakat plural, yang penduduknya tidak homogen tetapi terbagi-bagi oleh kesukuan, etnis, ras dan agama, dimana kadang-kadang beberapa faktor ini menyatu yang cenderung meningkatkan konflik.
Sebagaimana istilah demokrasi, persamaan dan kebebasan, istilah pluralisme juga tidak diterima begitu saja oleh kalangan umat Islam. Tidak semua intelektual Muslim menggunakan istilah pluralisme (ta’adudiyyah), walaupun semuanya mengakui esensi pluralisme. Mereka lebih lanjut mengidentifikasi perbedaan antara pluralisme sosial dan pluralisme politik. Islam lebih memberikan perhatian terhadap pluralisme sosial. Dalama dengan aspek-aspek agama lebih besar daripada aspek-aspek yang lain. Menurut Masykuri Abdillah, hal ini mungkin karena mereka meanggap bahwa agama Islam tidak hanya meliputi sistem kepercayaan namun juga mencakup masalah-masalah keduniaan. Lebih dari itu, perbedaan agama merupakan perbedaan paling mendasar dalam kehidupan masyarakat, dan dalam sejarah manusia, agama merupakan penyebab utama ketegangan dan konflik antara bermacam-macam agama. Di samping itu, dalam banyak kasus, agama mentransformasikan ke dalam identitas politik dan identitas nasional, sehingga di satu sisi agama dapat menjadi faktor pemersatu, dalam suatu kelompok atau masyarakat, dan di sini lain, dapat juga menjadi faktor pemecah di antara berbagai kelompok atau masyarakat.
Pandangan Islam tentang pluralisme ini antara lain dikemukakan oleh Narcholish Madjid. Menurutnya, pluralisme manusia adalah kenyataan yang dikehendaki Tuhan. Pernyataan Al-Qur’an, bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal dan saling menghormati (QS Al-Hujurat [49]: 13), menunjukkan pengakuannya terhadap pluralitas dan pluralisme. Islam memandang, pluralisme adalah sistem ninlai yang memandang eksistensi kemajemukan secara positif dan optimistik, dan menerimannya sebagai suatu kenyataan dan sangat dihargai Al-Qur’an juga menyatakan bahwa perbedaan bahasa dan warna kulit manusia harus diterima sebagai kenyataan yang positif, yang merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah (QS Al-Rum [30]: 22). Lebih lanjut, Al-Qur’an menyatakan, bahwa perbedaan pandangan atau aturan manusia, tidak harus ditakuti, tetapi harus menjadi titik tolak untuk berkompetisi menuju kebaikan. (QS Al-Maidah [5]: 48). Dengan demikian, Islam memandang pluralisme sebagai hukum alam (sunnatullah) yang tidak akan berubah dan tidak bisa ditolak. Islam adalah agama yang kitab sucinya sangat mengakui keberadaan hak-hak agama lain untuk hidup dan untuk mengimplementasikan ajaran-ajarannya, kecuali agama yang mendasarkan keimanannya pada paganisme atau syirik (politeisme). Pengakuan ini menunjukkan dasar keagamaan serta pluralisme sosial dan kultural, sebagai aturan Tuhan yang tidak berubah (QS Al-Maidah [5]: 44-50). Menurutnya, pluralisme merupakan produk dari pandangan jujur terhadap kemanusiaan yang diilhami oleh sikap saling menghormati di antara individu-inidividu dan kelompok-kelompok. Dengan demikia, pluralisme yang dikehendaki oleh Islam bukanlah sekedar adanya pengakuan bahwa pluralisme sebagai sebuah keniscayaan dan sunatullah, tetapi pluralisme yang mendatangkan keberkahan dan nilai tambah bagi manusia, yaitu pluralisme yang didasarkan pada saling menghargai dan menghormati, memanfaatkannya secara produktif untuk kepentingan bersama, saling menerima dan memberi, saling menunjang dan menopang, saling berbagi pengalaman dari kesuksesan hidup masing-masing umat, rasa tidak saling menganggu dan mencapuri perbedaan masing-masing, dan selalu mencari titik temu untuk kebaikan bersama. Konsep Islam tentang pluralisme inilah yang digagas dan diujicobakan oleh Nabi Muhammad Saw. melalui kebijakannya berupa “Piagam Madinah”. Pluralisme yang demikian itulah yang akan menjamin terwujudnya kehidupan yang harmonis, rukun dan damai, serta terhindar dari konflik dan permusuhan yang merugikan semua manusia.
Dengan memerhatikan uraian tersebut di atas, dapat diketahui dengan jelas, bahwa multikulturalisme merupakan sebuah konsep yang mengandung makna dan nilai kemanusiaan yang amat dalam. Multikulturalisme menghendaki adanya sebuah kehidupan masyarakat yang demokratis kesamaan, kebebasan dan wawasan pluralisme. Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan manusia dengan manusia, alam jagat raya dan lainnya. Denan demikian multikulturalisme dengan pilar-pilarnya itu: demokrasi, kesamaan, kebebasan dan pluralisme juga dapat perhatian dan respons dari ajaran Islam. Respons dan perhatian ini diberikan oleh Islam, agar konsep multikulturalisme dengan pilar-pilarnya itu tunduk pada nilai-nilai yang terdapat dalam peraturan perundangan, adat istiadat, moral dan agama. Dengan demikian multikulturalisme yang dibangun adalah multikultural yang berbasisi pada keseimbangan antara kebebasan manusia dan kehendak mutlak Tuhan antara kepentingan indibidu dan sosial, antara mayoritas dan minoritas, serta nilai-nilai yang bersifat universal, unggul, dan bertujuan untuk kebaikan dan kemajuan hidup jangka panjang. Yaitu multikulturalisme yang didasarkan pada nilai-nilai keadilan, toleransi, kejujuran, kepentingan bersama, dan keseimbangan dalam segala bidang.
Konsep multikultural dengan pilar-pilarnya: demokrasi, kesamaan, kebebasan, dan pluralisme inilah yang harus menjadi visi, misi dan tujuan yang harus diperjuangkan oleh pendidikan agama Islam yang diajarkan pada lembaga pendidikan, mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, serta tidka hanya pada pendidikan formal, melainkan juga nonformal. Konsep pendidikan agama yang demikian itu selanjutnya harus tampak dalam rumusan kurikulum baik pada kurikulum inti, kurikulum muatan lokal, hidden kurikulum, aktual dan potensial kurikulum, dan habitual kurikulum, bahan ajar, proses belajar mengajar, kompetensi dan profil tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, dan budaya sekolah.

F.     Keterkaitan antara Multikulturalisme dan Pendidik
Kebutuhan praktis dan norma sosial dari berbagai budaya mendominasi pemikiran tentang perkembangan, pengasuhan, perawatan, dan pendidikan anak. Dalam konteks gender misalnya, pengasuhan dan pendidikan anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Di banyak negara, laki-laki memiliki akses yang lebih besar terhadap kesempatan pendidikan, kebebasan yang lebih besar untuk mengejar karier, dan batasan yang lebih longgar dalam aktivitas-aktivitas lain dibanding perempuan (UNICEF,2005 dalam Santrock, 2007). Pada suatu studi tentang pengasuhan dalam 186 kebudayaan yang berbeda, ditemukan bahwa terdapat variasi lintas budaya yang berbeda, meskipun juga ditemukan pola pengasuhan yang paling umum, yaitu gaya hangat dan mengontrol merupakan pola yang tidak permisif, namun juga tidak restriktif (Santrock, 2007). Pola pengasuhan yang berbeda ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga perlu dipahami secara utuh oleh pendidik.
Pemahaman mengenai multikultural hendaknya dimiliki oleh pendidik PAUD karena akan sangat  membantu pendidik dalam mengenal beragam latar beragam anak secara komprehensif. Pemahaman tersebut akan membantu pendidik untuk mengembangkan strategi pembelajaran yang adil bagi semua anak, tanpa memandang latar belakang budaya, personal, etnis, jenis kelamin, gender, maupun latar belakang sosial ekonomi mereka. Dengan demikian, pendidik dan anak dapat hidup berdampingan secara produktif dalam dunia yang memang multikultural. Pendidik sangat terkait dengan berbagai prioritas pada budaya-budaya yang berbeda serta interaksi antar budaya tersebut. Hal ini tampak dalam masyarakat yang mengedepankan individualisme, yang tentu saja berbeda dengan masyarakat yang mengutamakan kolektivisme. Individualisme memberikan prioritas pada tujuan pribadi, menekankan nilai yang memenuhi kebutuhan diri sendiri. Misalnya, merasa baik, perbedaan pribadi, dan pencapaian serta kemandirian. Kolektivisme mementingkan nilai kelompok dengan mengabaikan tujuan pribadi untuk mempertahankan integritas kelompok, saling ketergantungan antaranggota dan hubungan yang harmonis. Perbedaan fokus mempengaruhi cara pendidik, dan memilih, dan menanamkan nilai-nilai serta norma-norma pada anak didik. Dengan demikian, pendidik dapat memahami sejauhmana perkembangan anak sama atau universal atau spesifik dalam budaya tertentu. Pendidik juga perlu memahami pengaruh perbedaan etnis dalam perkembangan dan interaksi setiap anak. Mengakui perbedaan etnisitas adalah aspek penting untuk mengembangkan kehidupan yang rukun antar anak, terutama dalam bangsa yang beragam dan multikultur. Dengan demikian, pendidik hendaknya mengembangkan diri menjadi pendidik yang peduli pada keberagaman. Pendidik yang peduli terhadap keberagaman memiliki ciri-ciri: (1) Mendidik dengan beragam cara, membuat kelas menarik dan mengajar dengan cara yang istimewa, sehingga setiap anak senang dan siap untuk menerima informasi; (2) menghargai dan menyayangi setiap anak; (3) memperhatikan, mendengarkan dan mengajukan banyak pertanyaan untuk merangsang munculnya ide kreatif anak; (4) jujur, adil, menaruh kepercayaan pada anak dan mengatakan yang sebenarnya dengan cara-cara yang tepat; serta (5) bertindak sebagai teman, meluangkan waktu dan memastikan bahwa setiap anak menerima dan memahami informasi, yang berguna untuk meningkatkan keterampilan dan pengalaman anak. Terdapat beberapa kriteria pendidik PAUD dalam dunia yang multikultur, antara lain: (1) memahami materi pendidikan anak usia dini secara komprehensif, sehingga dapat menyampaikan informasi yang lengkap dan benar kepada anak; (2) memahami proses pengembangan anak secara holistik; (3) mudah beradaptasi dalam setiap kondisi dan budaya, termasuk budaya anak; (4) mampu mengimplementasikan berbagai strategi pembelajaran untuk berinteraksi dengan anak yang memiliki latar belakang budaya, pengalaman, status sosial ekonomi, dan pola pengasuhan yang berbeda; (5) memiliki keterampilan untuk mengelola kelas dan memotivasi setiap anak. (6) memiliki keterampilan berkomunikasi secara efektif; (7) memiliki keterampilan untuk merancang dan melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan anak, dengan berbagai perbedaan karakteristik; (8) dapat melakukan penilaian terhadap perkembangan anak; (9) memiliki tanggung jawab dan komitmen profesional; serta (10) Dapat menjalin hubungan yang baik anak, sesama pendidik, orangtua maupun stakeholder yang lainnya (Jenkins, 2008).
Kesepuluh, kriteria tersebut dapat dipenuhi oleh pendidik melalui pengembangan profesionalisme secara berkelanjutan. Pengembangan profesionalisme secara berkelanjutan merupakan upaya-upaya yang dapat ditempuh oleh pendidik, baik secara individualmaupun kolektif, untuk mengembangkan kapasitas diri, sehingga dapat memberikan layanan yang sebaikbaiknya pada anak. Apabila pendidik memahami multikulturalisme dengan tepat, maka hal ini sangat mendukung gerakan global untuk anak, yang pada dasarnya menyangkut prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama, dahulukan kepentingan anak. Dalam segala tindakan yang berhubungan dengan anak, kepentingan terbaik anak hendaknya menjadi pertimbangan utama. Kedua, berantas kemiskinan. Kemiskinan memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh. Memberantas kemiskinan berarti memenuhi hak-hak dasar anak untuk hidup, serta menghindarkan anak dari berbagai bentuk perburuhan dan perdagangan anak. Ketiga, jangan sampai seorang anak pun tertinggal. Setiap anak dilahirkan dalam keadaan merdeka dan setara dalam martabat dan hak asasi, dengan demikian, segala bentuk diskriminasi harus diakhiri.Keempat, perawatan bagi setiap anak. Anak harus mendapatkan perawatan yang terbaik di awal kehidupannya. Ketahanan (survival), perlindungan, pertumbuhan, perkembangan, kesehatan serta nutrisi yang baik harus diterima oleh setiap anak karena merupakan landasan bagi anak untuk hidup dengan baik. Kelima, didiklah setiap anak. Setiap anak hendaknya mendapatkan akses yang sama terhadap pendidikan yang berkualitas, sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Keenam, melindungi anak dari pengayaan dan eksploitasi. Anak harus dilindungi dari setiap tindakan kekerasan, penganiayaan, eksploitasi, dan diskriminasi, serta dari segala bentuk terorisme dan penyanderaan. Ketujuh, melindungi anak dari peperangan. Anak-anak harus dilindungi dari konflik bersenjata serta ketentuan-ketentuan hukum konflik internasional. Kedelapan, menyelamatkan anak dari HIV/AIDS. Anak-anak dan keluarga harus dilindungi dari penyakit HIV/AIDS serta dampak mengerikan yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, perlu pemastian bahwa setiap anak mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Di samping itu, sesungguhnya anak juga perlu dihindarkan dari berbagai penyakit atau berbahaya lainnya, misalnya penyakit infeksi,kelaparan, dan sebagainya Kesembilan, mendengarkan setiap pendapat anak dan pastikan partisipasi mereka. Setiap anak berhak untuk mengemukakan pendapat serta perasaan, dan ikut serta dalam segala hal yang menyangkut mereka sesuai dengan usia dan kematangan. Kesepuluh, menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk anak. Lingkungan dengan keragaman hidup dan budayanya merupakan pendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga hendaknya dapat menjadi tempat yang baik bagi anak (Rilantono, 2009). Dengan demikian, gerakan global ini merupakan upaya untuk menyelamatkan dan meningkatkan kualitas hidup anak, sehingga tumbuh menjadi generasi yang berkualitas pula.

G.    Peran Pendidik PAUD dalam Pendidikan Multikulturalisme
Pendidik adalah ujung tombak dalam pendidikan anak usia dini, karena berinteraksi langsung dengan anak, termasuk juga dengan orang tua dan masyarakat. Dengan demikian, pendidik memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendidikan multikultural. Berikut ini adalah beberapa peran pendidik PAUD dalam pendidikan multikulturalisme. Pertama, pendidik berperan sebagai pendamping. Pendidik diharapkan dapat memberikan pendampingan dan bimbingan kepada anak agar menjadi manusia pembangunan yang sesuai dengan falsafah negara, yaitu yang dapat menghayati dan melaksanakan berbagai aktivitas dengan mendasarkan pada falsafah negara. Kedua, pendidik berperan sebagai pengembang kurikulum. Pendidik diharapkan dapat menerapkan dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak. Pendidik dituntut mampu mendesain program pembelajaran, termasuk merancang berbagai aktivitas sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setiap anak. Ketiga, pendidik berperan sebagai komunikator, pendidik hendaknya mengadakan komunikasi, terutama untuk memperoleh informasi tentang anak. Pendidik perlu berkomunikasi dan membangun hubungan baik dengan anak. Dengan mengetahui keadaan serta karakteristik anak, maka akan sangat membantu dalam upaya menciptakan proses pendidikan yang optimal. Keempat, pendidik berperan sebagai motivator. Pendidik diharapkan dapat memberikan semangat untuk senantiasa menghargai perbedaan, bangga terhadap budaya sendiri. Kelima, pendidik berperan sebagai role model, sehingga dituntut untuk menampilkan perilaku yang menunjukkan keteladanan dalam menghargai keragaman latar belakang anak. Agar kelima peran tersebut dapat dilakukan oleh pendidik, maka perlu pengembangan profesionalisme pendidik secara berkelanjutan.

H.    Pengembangan Profesionalisme Pendidik PAUD yang Multikulturalisme
Pengembangan profesionalisme merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh pendidik PAUD, mengingat bahwa keberagaman adalah hal yang pasti terdapat dalam diri anak dan masyarakat. Oleh karena itu, pendidik PAUD dapat melakukan beberapa hal yang dapat meningkatkan kompetensinya dalam menghargai keberagaman dan mendidik secara adil. Pembangun kompetensi tersebut dapat dilakukan dengan lima cara (Morrison, 2012). Pertama, memperhatikan perkembangan multikultural dalam diri pendidik. Berbagai hal yang dapat dilakukan antara lain: (a) menunjukkan sikap dan pandangan yang menghargai terhadap orang yang berbeda kebudayaan; (b) mempelajari kebiasaan, adat, kepercayaan dan perilaku yang berkaitan dengan agama yang dianut oleh anak; dan (c) meminta orangtua mengajarkan bahasa mereka (apabila ada anak yang berbeda bahasa), supaya pendidik dapat mempelajari beberapa ungkapan dasar untuk memberi salam dan bertanya, serta cara anak-anak memanggil orangtua dengan benar dan hormat Kedua, membuat semua anak merasa diterima. Dengan demikian, anak akan merasa nyaman dan betah berada dalam lingkungan kelas. Oleh karena itu, pendidik PAUD hendaknya dapat melakukan berbagai aktivitas, antara lain: (a) membuat suasana kelas yang penuh dengan kegembiraan dan semangat melalui afirmasi dan bahasa tubuh yang positif, sehingga kelas menjadi lingkungan yang penuh semangat dan hidup dengan berbagai budaya yang dimiliki oleh anak. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan gambar, benda-benda kerajinan tangan, alat permainan, dan sebagainya; (b) mendukung budaya dan bahasa ibu yang digunakan oleh anak, dengan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga anak bebas bercerita dan berbagi budaya dan bahasa masing-masing; serta (c) mendorong anak untuk berdiskusi, menggambar, dan melukis tentang arti budaya bagi mereka Ketiga, membuat semua orang tua dan keluarga merasa diterima. Semua orang tua dan keluarga hendaknya merasa menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pendidikan anak usia dini. Dengan demikian, orang tua dan keluarga turut bertanggung jawab dan berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.Oleh karena itu, perlu dirancang program untuk melibatkan orang tua, dengan cara: (a) mengundang orangtua atau keluarga anak untuk bercerita dan mendiskusikan bahasa dan budaya mereka masing-masing di kelas bersama anak dan pendidik. Mungkin perlu juga mereka mendemonstrasikan musik, lagu, atau kostum yang berkaitan dengan budaya; (b) pendidik dapat berusaha belajar bahasa mereka sehari-hari dan berbicara dengan orangtua dengan menggunakan bahasa sehari-hari tersebut; (c) bekerjasama dengan orangtua untuk menjembatani perbedaan antara cara yang berlaku di sekolah dengan norma yang berlaku di rumah dan budaya mereka; serta (d) bekerja sama dengan sesama pendidik PAUD. Untuk menjalin kerja sama dan komunikasi aktif yang efektif antarpendidik PAUD, perlu dikembangkan kegiatan untuk berbagi ide tentang cara menanggapi berbagai permasalahan anak dan orang tua yang berkaitan dengan perbedaan budaya, bahasa, gender, etnis dan sebagainya, serta membentuk kelompok diskusi untuk membahas berbagai kebutuhan anak terkait bahasa dan budaya. Kelima, berperan aktif dalam komunitas tempat pendidik PAUD berada. Pendidik PAUD diharapkan berpartisipasi aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, karena komunitas atau masyarakat adalah tempat yang sangat multikultural. Oleh karena itu, pendidik PAUD hendaknya mempelajari sebanyak mungkin segala hal tentang komunitas atau masyarakat sekitar dan sumber daya budaya yang dimiliki komunitas Selain itu, pendidik PAUD diharapkan dapat bekerja sama dengan organisasi masyarakat, keluarga dan populasi yang beragam budaya dan bahasa.Apabila perlu, dapat diminta untuk menjadi sukarelawan untuk membantu memenuhi kebutuhan anak yang beragam. Pendidik PAUD perlu berinteraksi secara intensif dengan beragam masyarakat dan menghargai teladan dari semua budaya. Pendidik juga dapat memberikan layanan pendidikan anak di rumah (apabila diperlukan), karena kemungkinan anak belum menerima layanan yang memadai di rumah karena berbagai hal yang berisiko menurunkan kualitas hidup anak. Pengembangan kompetensi tersebut sangat berkontribusi terhadap peningkatkan kapasitas pendidik PAUD sebagai salah satu agen dalam transfer dan transformasi budaya antar generasi. Dengan demikian, turut membantu menyiapkan anak menghadapi lingkungan masyarakt yang beragam, sehingga mampu hidup dalam keberagaman dengan damai

DAFTAR PUSTAKA
   
Nata Abuddin. 2014. Sosiologi Pendidikan Islam. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Puspita Ayu. 2013. Multikulturalsime Dalam Pendidikan Anak Usia Dini.Jurnal Ilmiah Visi P2TK PAUDNI






Share this

Related Posts

Previous
Next Post »