A.
Pendahuluan
Multikulturalisme
secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sistem nilai atau kebijakan yang
menghargai keragaman dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada kesediaan
untuk menerima dan menghargai keberadaan kelompok lain yang berbeda suku, etnik
dan gender maupun agama. Multikultural yang lahir sekitar awal tahun 1970-an di
Kanada dan Australia, kemudian di Amerika dan diikuti berbagai bangsa lainnya
di dunia, termasuk Indonesia itu, pada hakikatnya merupakan pengalaman akan
kebhinekaan budaya dan kemajemukan suku, etnik, agama dan lainnya, serta
memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh penyaluran dan aspresiasi yang
secara hukum dituangkan dalam berbagai peraturan perundangan dan kebijakan
lainnya. Dengan cara demikian, maka seluruh lapisan masyarakat yang bertempat
tinggal dalam sebuah komunitas merasa diakui, dihargai dan diperlakukan secara
demokratis dan adil.
Multikultural
ini dibangun paling berdasarkan tiga asas atau prinsip sebagai beriktu. Pertama, pengakuan terhadap manusia yang
tumbuh dan bersar dalam suatu masyarakat yang memiliki tatanan adab dan budaya
tertentu yang terkadang berbeda dengan tatanan adab dan budaya di daerah lain.
Berdasarkan prinsip ini, masyarakat mengorganisasikan kehidupan dan hubungan
sosial dalam suatu tatanan tertentu dimana sistem nilai dan makna diterapkan
dalam berbagai ungkapan dan simbol budaya. Kedua,
kebudayaan yang beraneka ragam dan berbeda-beda itu memperlihatkan adanya visi
dan sistem makna yang berbeda-beda tentang kehidupan yang baik dan buruk, yang
benar dan yang salah, yang elok dan yang tidak elok. Masing-masing mewujudkan
kemampuan tertentu dalam menanggapi dan memberikan perasaan tertentu dalam
berhadapan dengan berbagai peristiwa dalam kemanusiaan. Namun demikian, karena
masing-masing kebudayaan tersebut memiliki keterbatasan, kelemahan dan
kekurangan tertentu, maka diperlukan adanya kebudayaan lain untuk memahami
kehidupan dan mengembangkan kehidupan yang lebih baik. Ketiga, setiap kebudayaan secara internal bersifat majemuk dan
selalu mencerminkan terjadinya dialog yang berkelanjutan antara berbagai
tradisi yang berbeda-beda.
Dengan
demikian, multikulturalisme pada hakikatnya merupakan politik kebudayaan dalam
rangka memperjuangkan nasib sekelompok masyarakat (minoritas) yang memiliki
perbedaan budaya: agama, etnik, suku, dan lain sebagainya yang tinggal dalam
suatu negara yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan yang dianut oleh
kelompok minoritas tersebut. Agar kebudayaan yang dianut oleh kelompok minoritas
tersebut tidak diganggu atau terancam punah, serta berbenturan dengan budaya
yang dianut kelompok minoritas, maka diperlukan adanya budaya lain yang
berfungsi sebagai pengikat, penghubung dan pengaman sera menjamin keberlanjutan
dan keamanan budaya yang dianut kalangan minoritas tersebut. Dalam kaitan ini,
maka selain sebagai kebijakan yang bersifat politik, multikultural juga
kebijakan yangbersifat sosial, moral dan kultural. Budaya lain yang berfungsi
sebagai pengikat, penghubung dan pengaman eksistensi keragaman budaya tersebut
adalah kesamaan mengemukakan pendapat dan lainnya (demokrasi), persamaan di
depan hukum (equal before law),
kebebasan (freedom and liberty) dan
pengakuan atas adanya keberagaman (pluralisme).
Selanjutnya
diketahui, bahwa budaya lain sebagai pengikat, penghubung dan pengaman
eksistensi keragaman budaya tersebut: demokrasi, persamaan, kebebasan dan
pluralisme tersebut masih mengalami perdebatan dikalangan para pakar pada
umumnya, dan dari kalangan pakar Muslim atau ulama pada khususnya, sehingga
perlu dilakukan penyesuaian terhadap nilai-nilai ajaran Islam.
B.
Demokrasi
Demokrasi
sebagai nilai pengaman bagi multikultural dalam hubungannya dnegna ajaran Islam
serta penerapannya di Indonesia telah menimbulkan perdebatan di kalangan para
pakar pada uumnya dan dari kalangan tokoh Islam pada khususnya. Hasan al-Bannam
Abul A’la al-Maududi atau Naqiyuddin al-Nabhani milsanya berpendapat, bahwa
demokrasi itu tidak sesuai dengan Islam. Selanjutnya walaupun dari kalangan
pemikir Islam, misalnya ulama al-Azhar dan tokoh Ikhwan al-Muslimin, Muhammad
al-Ghazali dan kalangan orientalis seperti John Esposito, berpendapat bahwa
syura adalah suatu bentuk demokorasi Islam dan dapa tmenjadi titik tolak
demokrasi dalam Islam. Tetapi ulama lain, seperti Syarkawi, membantahnya
dengang mengatakan, bahwa syura bukanlah demokrasi dalam pengertian umum dewasa
ini. Paling tidak masalah kompatabilitas antara Islam dengan demokrasi
merupakan isi yang diperdebatkan, baik dikalangan sarjana Barat maupun Muslim
sendiri. Di Indonesia, Ustad Abu Abakar Ba’asyir dari Pesantren Ngruki dan
pendiri Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), menulis kupasan yang dimuat dalam
buku catatan dari penjaranya bahwa demokrasi, bersama-sama dengan nasionalisme
dan sekularisme yang berasal dari Bara, adalah paham syirik karena menyekutukan
kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan rakyat. Tetapi pemikir lama Indonesia,
Muhammad Natsir yang pernah menjadi Ketua Umum Partai Masyumi yang disebut
sebagai pengusung demokrasi di Indonesia itu, menerima konsep demokrasi dengan
mensyaratkan prinsip kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang disebutnya
sebagai teo-demokrasi, atau demokrasi yang berdasarkan Ketuhanan.
Akar
penyebab timbulnya perdebatan tersebut antara lain, karena demokrasi secara historis
dan sosio kulutral lahir dari rahim budaya Barat yang sekularis, liberalistik,
dan anthropo-centris. Demokkrasi
lahir sebagai hasil dari protes keras dan tuntutan kebebasan mengemukakan
pendapat dan beraktualisasi dalma segala bidang kehidupan, yang dibelenggu,
dikekang, dirampas dan dikuasai otoritas kaum agama dan kaum feodalistik.
Demokrasi meniscayakan adanya kedaulatan ditangan masyarakat. Sedangkan dalam
Islam kedaulatan berada di tangan Tuhan. Islam menginginkan agar kedaulatan
Tuhan tidak dirampas oleh kedaulatan manusia.
Jika
kedua pendapat tersebut dibandingkan antara satu dan lainnya. Nampak masih
mengandung kelebihan dan kelemahan. Kelebihan demokrasi yang menegaskan
kedaulatan di tangan manusia terdapat segi kekuatan dari segi pelaksanaannya,
yakni dapat dengan mudah disesuaikan dengan keinginan manusia sesuai dengan
situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi, dan dalam pelaksanaannya memang
dilakukan oleh manusia. Sedangkan kelemahannya antara lain terlatak pada
kemungkinan terjadinya keharusan demokrasi memperturutan kehendak manusia
semata-mata yang berdasarkan kekuatan akal pikiran, situasi dan kondisi yang
dihadapinya semata-mata, yang terkadang bisa baik dan bisa buruk, sesuai dengan
sifat dasar manusia yang tidak selamanya baik dan tidak selamanya buruk, dan
pada gilirannya akan mengarah pada dmeokrasi liberal sebagaimana yang berkembang
di Barat. Selanjutnya kelompok yang mengatakan kedaulatan tangan Tuhan dan
menolak demokrasi juga mengandung kekuatan dari segi, bahwa apa yang
dilaksanakan berdasarkan kehendak Tuhan sebagaimana yang terdapat di dalam
Al-Qur’an dan hadis, dengan cara menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara,
dan menjadikan negara sebagai negara Islam. Sedangkan kelemahannya terletak
pada soal isi atau kontennya yang tidak secara teknis, Al-Qur’an dan hadis
tidak mengatur secara terperinci, melainkan hanya garis-garis besarnya saja,
seperti konsep musyawarah, persamaan kedudukan manusia dihadapan hukum dan
sebagainya, sehingga akan sulit dilaksanakan. Selain itu, kalaupun kedaulatan
Tuhan itu berdasarkan Al-Qur’an, namun dalam pelaksanaannya tetap membutuhkan
ijtihad manusia. Mengingat masalah demokrasi adalah masalah mu’amalah yang di
dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah tidak diaturnya secara pasti, dan banyak
diserahkan kepada hasil itjihad manusia.
Untuk
yang ideal adalah demokrasi yang ditawarkan oleh Muhammad Natsir, yang pada
hakikatnya memadukan antara kehendak Tuhan dengan kehendak manusia. Dengan cara
demikian, demokrasi tersebut tidak terjerumus ke dalam bentuk teokrasi
sebagaimana yang dipraktikkan di Vatikan, dan tidka pula terjerumus pada
liberalisasi individual sebagaimana yang terjadi di Barat, atau otoriter
masyarakat (communitas) sebagaimana
yang terjadi pada masyarakat komunis. Dengan kata lain, demokrasi yang
diterapkan adalah demokrasi yang berdaarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa,
sebagaimana yang dipraktikkan di Indonesia. Model demokrasi yang dipraktikkan
di Indonesia ini, adalah demokrasi yang paling sesuai dengan karakter
masyarakat Indonesia yang pluralistik, yang di dalamnnya bukan hanya terdiri
dari bangsa yang menganut keragaman agama, etnis, suku, budaya dan lain
sebagainya.
Pada
masa pemerintahan Orde Baru (1966-1993), para pemimpin intelektual Muslim terus
mengupayakan dukungan terhadap demokrasi. Dukungan tersebut mereka berikan
dengan dua alasan. Pertama, karena
nilai-nilainya sesuai dengan nilai-nilai Islam tentang masyarakat. Kedua, demokrasi merupakan cara yang
tepat untuk mengatikulasikan aspirasi dan kepentingan-kepentingan Islam, karena
umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, sementara sistem yang demokratis pada
dasarnya adalah sistem kekuasaan mayoritas.
Dalam
hubungan ini. Masykuri Abdillah berpendapat, bahwa secara teologis penerimaan
para intelektual Muslim terhadap demokrasi didasarkan pada ajaran-ajaran
Al-Qur’an dan praktik historis masa Nabi dan al-khulafa al-Rasyidun. Sebagaimana
intelektual Mulsim di negara-negara lainnya yang mendukung demokrasi, mereka
juga mendasarkan pendapatnya pada Al-Qur’an (Ali ‘Imran [3] : 159): “wa
syawirhum fi al-amr” (dan musyawarahlah dengan mereka dalam persoalan itu) dan
Al-Qur’an (Al-Syura [42] “ 38): “wa amruhum syura bainahum” (danurusan mereka
diputuskan melalui musyawarah di antara mereka). Mereka mempunyai konsep
sendiri tentang demokrasi, yang tidak sama dengan demokrasi liberal (yang
mengutamakan kebebasan individu) dan demokrasi sosial (yang mengutamakan
pendapat orang banyak: masyarakat).
Dalam
perkembangan selanjutnya, khususnya setelah kehancuran Komunis di Uni Soviet,
dan kuatnya arus liberalisasi global yang melanda dunia Islam, serta kurangnya
perjuangan dari kelompok Islam untuk memperjuangkan demokrasi berdasarkan
nilai-nilai Ketuhanan atau demokrasi sebagaimana yang diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945, menyebabkan dmeokrasi yang berkembang dan kuat
pengaruhnya saat ini, termasuk demokrasi yang diterapkan di Indonesia dan di
negara-negara lainnya adalah demokrasi liberal. Adanya kecenderungan menguatnya
demokrasi liberal ini, Dawam Rahardjo dalam artikelnya berjudul “Islam dan
Demokrasi” mengatakan, bawaha walaupun banyak negara di dunia, termuask
negara-negara Islam belum sepenuhnya demokrat atau liberal, namun seluruh dunia
sedang dalam proses menuju ke arah sistem demokrasi liberal. Barnagkali proses
demokratisasi di dunia Islam termasuk dalam gelombang keempat demokrasi,
sesudah gelombang ketiga di negara-negara pascakomunis.
Berdasarkan
paparan tersebut di atas, maka dalam rangka pelaksanaan paham
multikulturalisme, maka pilar demokrasi yang harus diterapkan adalah bukan
demokrasi liberal yang berbasis pada kebebasan dan dominasi individu, dan bukan
pula demokrasi sosial yang berbasis pada dominasi sosial, melainkan demokrasi
yang memadukan antara kepentingan individu dan sosial, antara nilai-nilai yang
berasal dari Tuhan, dan nilai-nilai yang berasal dari manusia, antara anthropo-centris dan teo-centris secara
seimbang. Inilah model multikulturalisme yang dikehendak ajaran Islam. Hal yang
demikian perlu ditegaskan, karena disamping terdapat kelompok yang menerima
multikulturalisme, juga terdapat kelompok yang menentangnya. Di Amerika Serikat
cmisalnya, nation state harus
diselematkan dari munculnya kaum pendatang yang membawa aneka budaya dan
kepercayaan agama berbeda, telah mengancam eksistensi kebudayaan nasional dan
nasionalisme. Ancaman konflik sosial dan disintegrasi mendorong negara-negara
tertentu di Barat mengambil kebijakan multikulturalisme, walaupun harus
mendapatkan reaksi dari masyarakat luas. Ancaman lain yang mendorong lahirnya
multikulturalisme ialah ancaman terhadap liberalisme dan demokrasi (liberal),
dan dengan sendirinya terhadap kebijakan terhadap ekonomi neo liberalisme.
Untuk itu diperlukan sistem pengawasan terhadpa masyarakat multibudaya,
multietnik, multiagama dan multiras. Dengan demikian yang menolak
multikulturalisme berdasakan pada kekhawatiran atau ketakutan identitas budaya negaranya
menjadi lebur, hilang atau menyatu ke dalam budaya yang datang dari luar;
sebaliknya yang menerima multikulturalisme, khawatir kehadiran mereka yang
berbeda budayanya itu mendapatkankan penolakan dari masyarakat mayoritas yang
memiliki nilai budaya yang berbeda dengan budaya yang dianut para pendatang
atau kelompok minoritas. Gejala kekhawatiran kelompok yang menolak
multikulturalisme yang berbasis pada nation
state ini juga cukup beralasan jika dilihat dari fakta kehidupan sosila
yang terjadi pada sebuah bangsa. Di Indonesia saat ini, misalnya, sering muncul
sikap yang merendahkan budaya bangsa sendiri, kurang menghargai hasil karya
bangsa sendiri: makanan, pakaian, kesenian, pola pikir, dan lain sebagainya.
Lebih dari itu terdapat pula gejala yang mengkhawatirkan, yaitu timbulnya sikap
yang merendahkan atau menggadaikan bangsa sendiri. Gejala ini tampak terlihat
pada sebagian masyarakat yang tingal di kota-kota besar, dan mereka berlatar
belakang pendidikan Barat yang hidup dalam budaya yang liberal.
Multikulturalisme Indonesia seharusnya bukan multikulturalisme yang seperti
itu, melainkan multikulturalisme yang menjaga keseimbangan antara kepentingan
bangsa dan negara dengan kepentingan bangsa-bangsa lain secara adil, seimbang
dan proporsional, yakni bahwa masyarakat penganut budaya mayoritas: agama,
etnis, suku, dan budaya yang lebih besar jumlahnya sudah sewajarnya jika
mendapatkan perlakuan yang lebih besar dari bangsa yang minoritas, terutama
untuk mendapatkan jabatan-jabatan yang lebih besar dan strategis. Untuk
diangkat menjadi pegawai negeri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan jabatna
Menteri, misalnya, bisa saja dari latar belakang agama, etnis, suku dan agama
apa saja. Namun yang mayoritas secara proposional harus mendapatkan bagian
lebih banyak dari yang minoritas. Dan dan khusus untuk jabatan sebagai Presiden
misalnya, seharusnya tetap dari kelompok agama, etnis dan budaya yang
mayoritas. Hal ini bisa dipahami, karena jumlah mereka lebih besar, yang dengan
sendirinya, suara mereka lebih besar, kontribusi, peran dan tanggung jawab
mereka juga lebih besar dibandingkan yang minoritas.
C.
Persamaan
Persamaan
di antara manusia merupakan salah satu hak yang paling fundamental bagi warga
negara, dan merupakan salah satu dari tiga nilai yang dituntut oleh Perancis.
Nilai ini selanjutnya menjadi pilar yang terpenting bagi tegaknya konsep
multikulturalisme. Sebagaimana halnya demokrasi, nilai persamaan ini juga
muncul untuk menentang sistem dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh
aristokrasi dan oligarki, serta merupakan perlawanan terhadap hierarki dan
diskriminasi sosial uang sebagian masih ada hingga sekarang, tidak hanya di
Dunia Ketiga, tetapi juga di negara-negara yang demokratis. Sekarang ini,
ketidaksamaan itu boleh jadi berhubungan dengan kekuasaan, kekayaan atau
pendapatan, ras, gender, agama dan kebudayaan,tetapi distribusi penghasilan
yang tidak sama menjadi sumber utama ketegangan dan terkait dalam bentuk-bentuk
ketidaksamaan yang lain, ketidaksamaan bisa terjadi secara de facto (dalam praktik), dan dalam beberapa hal terjadi secara
bersamaan dengan secara de jure
(dalam hukum). Pada tahun 1990, menurut The Oxford Companion to Politics of the
World, ketidaksamaan diungkapkan sebagai dasar konflik di beberapa negara,
seperti Afrika Selatan, Uni Soviet, Amerika Serikat dan India; dan
ketidaksamaan hak-hak perempuan menjadi perhatian khusus di Afrika dan dunia
Islam.
Namun
demikian, timbul perdebatan di sekitar apa saja yang dipersamakan di antara
sesama manusia. Mengingat persamaan bisa terjadi karena asal usul dan bahan
kejadiannya, proses penciptaannya, bahan makanan dan pakaiannya, jenis
jelaminnya, bahasanya, budayanya dan sebagainya, atau persamaan tersebut dalam
hal pemberian kesempatan (equality of
opporunity), persamaan di hadapan hukum (equlity berfore law). Masyarakat Barat misalnya lebihmengakai
“persamaan di muka hukum” (equality
berfore law), yang secara aktual menjadi tujuan politik yang menandai
masyarakat demokratis. Konsep persamaan tersebut, mengacu bukan pada pengertian
yang konkret, melainkan lebih menunjuk pada pernyataan etis, di mana mereka
adalah setara dan harus mendapatkan perlakukan yang sama. Kaum liberal klasik
hanya membenarkan persamaan di muka hukum. Mereka mempertahankan bahwa gerakan
menuju persamaan akan dianggap sebagai tidak dibenarkan, hika hal ini menuntut
pembayaran pendapat yang sama bagi semua individu yang memberikan kontribusi
yang berbeda-beda dalam proses ekonomi.
Selanjutnya
dalam membicarakan prinsip persamaan, para teoritikus politik dan sosial
berupaya membedakan antara ketidaksamaan secara alamiah dan secara konvensional.
Ketidaksamaan alamiah adalah sesuatu yang berbeda dalam seks, umur, kekuatan
dan sebagainya; sedangkan ketidaksamaan kovensional mengacu pada
perbedaan-perbedaan dalam hal pendapatan, status, kekuasaan, dan seterusnya.
Perbedaan inilah yang digagas oleh Rousseau. Yakni menerima ketidaksamaan
alamiah, namun menolak ketidaksamaan kovensional, karena yang berlakangan
berubah-ubah sedangkan yang pertama tidak berubah.
Konsep
persamaan tersebut berbeda dengan kaum liberal klasik yang hanya membenarkan
persamaan di muka hukum (equality berfore
the law). Sedangkan kaum egalitarian setuju dengan persamaan yang tidak
hanya dalam bidang hukum dan politik, tetapi juga dalam bidang sosial dan
ekonomi. Dalam hubungan ini, kaum egalitarian berpendapat: “bahwa semua orang
harus diperlakukan sama dalam segala hal, karena mereka memang sama”. Namun hal
ini berbeda dengan pandangan kaum Komunis yang mengatakan persamaan sebagai “form each according to his ability, to each
according to his need” (dari masing-masing menurut kemampuannya, untuk
masing-masing menurut kebutuhannya).
Dalam
pada itu, konsep persamaan yang modern mencoba menggabungkan antara tradisi
liberal klasik dengan tradisi egalitarian yang bertumpu pada ide tentang
persamaan dalam kesempatan (equality of
opportunity). Menurut kelompok ini, bahwa tuntutan persamaan adalah untuk
menuntut penghapusan hambatan-hambatan yang terdapat dalam cara individu
mewujudkan peotensinya; peningkatan kesempatan adalah juga peningkatan dalam
kebebasan. Doktrin ini juga menuntut penghapusan hukum dan hak-hak istimewa
lain yang tidak dibenarkan, yang hanya menyediakan posisi-posisi sosial,
ekonomi dan politik bagi kelas, ras atau seks tertentu. Dalam pemahaman yang
demikian itu, maka persamaan kesempatan dalam pendidikan merupaka prioritas
utama, karena pendidikan menciptakan mobilitas sosial, dan semakin tinggi
pendidikan hampir dipastikan dalam meningkatkan prestise, kedudukan, kemampuan
dan kekayaan yang tinggi.
Para
intelektual Muslim di Indonesia pada umumnya mendukung prinsip nilai persamaan
ini, dan dipersamakan dengan konsep al-musawah
yang merupakan karakter yang bersifat fitrah alamiah, walaupun mereka juga
mempunyai berbagai perbedaan konsep mengenai prinsip ini. Harun Nasution dan
Thir Azhari misalnya mendasarkan argumentasinya pada firman Allah Swt (QS
Al-Hujarat [49]: 13) yang artinya: “Hai
manusia Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan permepuan, dan
membuatmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kami saling kenal.
Bahwasanya yang paling mulia diantara kamus di sisi Allah adalah yang paling
bertakwa”. Selain itu mereka juga mengutip hadis Nabi yang artinya: Hai
manusia, sesungguhnya Tuhanmu adalah satu, dan leluhurmu adalah satu. Yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Tidak ada kelebihan orang Arab di atas orang
selain Arab, tidak ada juga kelebihan orang selain Arab di atas orang Arab,
tidak juga bagi orang yang kulit putih di atas orang kulit hitam, juga tidak
orang kulit hitam di atas orang kulit putih, kecuali karena takwanya”.
Berdasarkan
pada ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut di atas, para sarjana dan ulama Islam
pada umumnya berpendapat bahwa Tuhan menciptakan manusia dari pasangan Adam dan
Hawa; dan walaupun saat ini manusia terdiri dari bermacam bangsa, ras, agama
dan kulit yang berbeda-beda, pada dasarnya mereka bersaudara dan mempunyai
kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Yang membedakan di antara mereka bukan
hal-hal yang bersifat kontemporer, dan fisik, seperti pangkat, kedudukan,
kekayaan, kecantikan, kesukuan, bentuk tubuh, dan lain sebagainya, melainkan
hal-hal yang bersifat kualitatif, moralitas, spritualitas, dan amal
perbuatannya; yakni keimanan, ketaqwaan, dan ketinggian akhlaknya.
Berdasarkan
kenyataan ini, maka sebagian pakar Islam berpendapat bahwa Islam adalah agama
egalitarianisme dalam pengertiannya yang luas yang berkaitan dengan keadilan,
eksistensi, demokrasi dan persamaan prinsip-prinsip musyawarah, kebijaksanaan,
dan perwakilan. Selain itu yang berkaitan dengan kesadaran hukum, termasuk di
dalamnya, bahwa tidak seorangpun dibenarkan bertindak diluar hukum.
Egalitarianisme dan kesadaran hukum inilah yang telah dipraktikkan oleh Nabi
dalam misi kepemimpinannya untuk mengembakan komunitas negara yang
konstitusional, sebagaimana yang tercermin dalam piagam Madinah sesuai pula
yang ditegaskan oleh Nabi dalam hadisnya: “Andaikata Fatimah bin Muhammad
mencuri, niscaya akan potong tangannya”.
Perdebatan
terjadi di kalangan intelektual Muslim di Indonesia berkenaan dengan kedudukan
non-Muslim yang berada dalam negara Islam. Dalam kaitan ini para intelektual
Muslim membaginya menjadi tiga. Pertama,
merkea yang masih mempertahankan konsep dzimmi dan harbi, tetap mendukung
perlindungan dan jaminan sepenuhnya pada hak-hak dzimmi. Kedua, mereka yang menolak konsep ini untuk menghindari
diskriminasi terhadap warga negara. Ketiga,
mereka yang menolak konsep ini tetap masih mempertahankan posisi tertentu
(kepala negara) untuk diduduki oleh seorang Muslim. Pendapat pertama didukung
antara lain oleh Ali Yafie dan Amin Rais. Menurut Yafie dzimmi harus membayar
pajak (jizyah) agar mendapatkan
keamanan dan perlindungan dari umat Islam, tetapi dia tidak setuju untuk
memperlakukan mereka secara diskriminatif. Mereka mempunyai hak yang sama
seperti orang Islam, termasuk hak untuk menjadi menteri, atau posisi-posisi
lain kecuali menjadi kepala negara atau khalifah. Secara historis, menurut Ali
Yafie, beberapa orang Yahudi dan Kristen telah diangkat menjadi menteri dan
menduduki jabatan lain di masa dinasti Abbasiyah dan Umayyah Non-Muslim tidak
dapat menduduki jabatan kepala negara, karena kedudukan merupakan wakil Nabi
untuk menegakkan urusan-urusan agama serta urusan pemerintahan sekuler (khilafah an al-rasul fi igamah al-umur al-in
wasiya al-dunyawiyya) Pendapatnya ini didasarkan pada ayat Al-Qur’an (QS
Ali Imran [3}: 28): “Jangalah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir
menjadi wali”. Menghadapi kritik bahwa non-Muslim ditempatkan sebagai kelas dua
di negara-negara Islam karena mereka tidak mempunyai hak untuk menjadi kepala
negara, dia mengatakan bahwa keadaan yang demikian juga terjadi di
negara-negara demokratis seperti Amerika Serikat. Namun demikian sebagaimana
Yafie, Amin Rais mengatakan, bahwa hak-hak non-Muslim keduanya setuju bahwa
posisi kepala negara sebuah negara Islam dipegang oleh seorang Muslim. Jika hal
ini dianggap sebagai perlakuan diskriminatif perlakuan semacam itu, kurang juga
terjadi di negara-negara demokrasi meskipun tidak tertulis dalam undang-undang.
Sejalan dengan pendapat ini Nurkholis Madjid mengungkapkan lebih jauh bahwa
secara sosiologis tidak mungkin non-Muslim untuk menjadi presiden di negara
Islam, dan secara teologis dia merespon pendapat Ibn Taimiyah yang menyatakan
tidak setuju dengan kepemimpinan non-Muslim di atas kaum muslimin namun dia
mengingatkan bahwa keadilan, terlepas siapa yang melaksanakannya, adalah lebih
baik dari pada kezaliman, siapa pun yang melakukannya.
Dari
paparan terebut di atas, terlihat bahwa agama Islam adalah agama yang sangat
mendukung adanya persamaan umat manusia dalam hal mendapatkan perlakukan hukum,
mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, pekerjaan,
memiliki harta benda, dan menduduki berbagai jabatan. Perbedaan agama, etnis,
suku, budaya, warna kulit dan lain sebagainya tidak dapat dijadikan alasan
untuk memperlakukan merekca secara diskriminatif atau memberikan perlakuan yang
berbeda. Islam memandang, bahwa berbagai perbedaan tersebut merupakan
sunnatullah dan fitrah, yakni seseuatu keniscayaan dan merupakan ciptaan Tuhan.
Memperlakukan mereka secara diskriminatif mengandung arti memperlakukan ciptaan
Tuhan secara diskriminatif. Tindakan ini bukan saja menentang kehendak Tuhan,
melainkan juga akan merugikan tidak hanya bagi yang diperlakukan secara
diskriminatif, melainkan bagi orang yang memperlakukan diskriminatif tersebut.
Karena perlakuan diskrimantif mengandung arti menghalangi terjadinya
aktualisasi potensi yang dimiliki makhluk Tuhan yang mengakibatkan sebuah
kerugian. Sikap diskriminatif terhadap orang kulit hitam yang pernah dilakukan
di beberapa negara minoritas menyebabkan potensi, bakat, keunggulan dan keistimewaan
yang dimilik orang kulit hitam tersebut menjadi tertutup. Namun setelah
perlakukan diskriminatif tersebut dicabut dan diganti dengan prinsip kesamaan
dalam berbagai bidang; sosial, politik, ekonomi, seni budaya, dan lainnya,
ternyata dari orang kuli hitam ini lahir bintang-bintang terkenal dalam
berbagai bidang kehidupan: penyanyi, olahragawan, bahkan pemimpin negara.
Berbagai konsep yang membatasi dan cenderung deskriminatif terhadap mereka yang
berbeda agama, warna kulit dan lainnya sebagaimana terlihat pada konsep ahli
dzimmi harus dipahami tidak saja dari segi tekstual normatif belaka, melainkan
dari segi sejarah dan sosial yang melatarbelakangi lahirnya konsep tersebut.
Para pakar Muslim umumnya sepakat untuk tidak lagi menerpakan konsep dzimmi tersebut.
Mereka perlu diberikan kesamaan hak dalam segala bidang, termasuk untuk menjadi
kepala negara. Dengan demikian, di dalam konsep kesamaan tersebut terdapat
pengakuan terhadap adanya kebebasan, kemajemukan, toleransi, keadilan dan
kejujuran yang secara keseluruhan merupakan tiang-tiang penyangga yang disediakan
ajaran Islam untuk menopang berlakunya prisnip kesamaan dalam rangka menerapkan
konsep multikultural.
D.
Kebebasan
Pilar
ketiga yang mendukung pelaksanaan nilai multikulturalisme yang juga menopang
pelaksanaan demokrasi dan kesamaan sebagaimana tersebut di atas adalah adanya
prinsip kebebasan atau kemerdekaan (freedom
atau free will). Kebebasan atau kemerdekaan ini dapat didefenisikan sebagai
tidak adanya suatu paksaan atau rintangan. Sementara itu, Werner Becker,
sebagaimana dikutip Masyukri Abdillah, mendefinisikan kemerdekaan sebagai:
seorang yang dalam batas-batas tertentu dapat melakukan atau meninggalkan apa
yang dia inginkan
Namun
demikian, di kalangan umat Islam, masih mencurigai prinsip kebebasan tersebut,
karena prinsip tersebtu sebagaimana juga prinsip demokrasi dan persamaan adalah
lahir dari tradisi liberal masyarakat Barat yang menginginkan dapat melakukan
apa saja, tanpa dibatas moral, agama, dan lainnya sebagainya. Kebebasan bagi
mereka adalah membiarkan segala yang diinginkan manusia sehingga dapat mencapai
tujuan hidupnya, berupa kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Dalam rangka
kebebasan ini, maka nilai-nilai moral, agama, bahkan hukum harus disesuaikan
atau diperbarui agar mendukung terlaksananya kebebasan tersebut. Melalui
prinsip kebebasan itu, mereka ingin mengaktualisasikan dan mengeksplorasi
seluruh potensi yang dimilikinya hingga menjadi manusia unggul yang dikenal
sebagai superman. Tradisi liberal ini pada tahap selanjutnya tidak menerima
pertentangan antara kebebasan dan hukum. Pandangan kebebasan ini, antara lain
pada pandangan John Lock yang mengatakan bahwa “tujuan hukum bukan untuk
menghapus atau mengekang, tetapi untuk melindungi dan memperluas kebebasan.
Namun demikian, pandangan masyarakat modern terhadap kebebasan mulai mengalami
pergeseran dibandingkan konsep kebebasan versi masyarakat liberal. Menurut
masyarakat modern, bahwa kebebasan individu hanya terbatas pada tingkat bahwa
suatu hukum memiliki kekuatan memaksa untuk mendikte melakukan perbuatan hukum.
Sistem hukum adat misalnya yang hanya menetapkan batasan-batasan terhadap
tindakan individu, tindakan menghalangi kemerdekaan karena seorang individu
bisa merencanakan untuk menghindarinya. Jika aturan-aturan itu sempurna, tidak
diskriminatif dan dapat diperkirakan, maka semau itu dapat diperlakukan sama
seperti fenomena alam, dan karena tidak merusak kebebasan.
Lebih
lanjut Masykuri Abdillah berpendapat, bahwa dalam wacana kebebasan, kita tidka
dapat memisahkannya dair persamaan sebagaimana telah diuraian di atas, karena
keduanya saling melengkapi, walaupun kadang-kadang juga ada perbedaan antara keduannya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kebebasan adalah tiadanya halangan
dan paksaan, tetap dalam beberapa hal, intevensi negara dibutuhkan untuk
mencapai persamaan juga merupakan salah satu hak manusia yang paling dasar.
Misalnya, untuk memperoleh pendapatan yang sama di antara para warga negara,
negara memberikan prioritas kepada yang miskin dan membatasi ekspansi ekonomi
oleh yang kaya. Ide yang mendukung intervensi negara karena alasan-lasan
persamana sosial dan ekonomi disebut kebebasan “positif”, sedangkan ide yang
menolak intervensi negara dalam segala hal disebut kebebasan “negatif”.
Sebagian besar dari versi modern mendukung kebebasan positif.
Dengan
demikian, versi yang modern tidak setuju adanya kebebasan atau persamaan yang
mutlak. Hal ini sejalan dengan kenyataan saat ini tidak ada satu negara di
dunia yang memperbolehkan adanya bentuk kemutlakan. Perhatian terhadap hubungan
antara kebebasan dan persamaan ini menimbulkan empat jenis sistem politik. Pertama, disebut “sosialisme” pada saat kebebasan dan persamaan sama-sama dinilai
sangat tinggi. Kedua, kapitalisme,
yaitu ketika kebebasan dinilai tinggi dan persamaan dinilai rendah. Ketiga, komunisme, dimana kekebasan
dianggap bernilai rendah dan bersamaan bernilai tinggi; dan keempat, fasisme, dimana baik kebebasan
maupun persamaan dianggap tidak bernilai tinggi.
Islam
mengakui dan melindungi kebebasan manusia, karena manusia diberkahi dan
dilengkapi dengan kemampuan berpikir yang tidak dmiliki oleh makhluk lain.
Namun demikian, para pakar Muslim pada umumnya berpendapat, bahwa kebebasan
yang dimiliki manusia itu tidaklah mutlak, karena kemutlakan itu hanya milik
Allah. Kebebasan yang dimiliki manusia memiliki batas-batas tertentu, misalnya
kebebasan berbicara harus dibatasi oleh ketidakbolehan mengganggu kepentingan
umum, kebebasan untuk kaya, tidak boleh membahayakan kepentingan umum, dan
sebagainya. Sejalan dengan Nasution, Syafi’i Ma’arif, berpendapat tentang tidak
adanya kebebasan mutlak dalam arti seseorang dapat melakukan apa saja yang
dikehendaki, karena kebebasan ini dibatasi oleh kepentingan umum yang
dimanifestasikan dalam bentuk ucapan, pikiran, perasaan dan perbuatan. Dengan
demikian, para intelektual Muslim berpendapat, bahwa tidak ada kebebasan yang
mutlak, sebagaimana juga tidak ada persamaan yang mutlak. Kebebasan yang
dimiliki manusia dibatasi oleh kebebasan yang dimiliki oleh orang lain,
hukum-hukum, adat istiadat, moral dan agama. Kebebasan yang melanggar
batas-batas tersebut akan menyebabkan hilang atau rusaknya kebebasan itu
sendiri, karena akan menimbulkan keadaan chaos,
kacau balau, dan tidak tertib yang pada gilirannya mengancam kebebasan manusia
itu sendiri. Undang-undang, norma hukum, norma adat, tradisi, kebijakan, bahkan
agama diturunkan Tuhan dalam rangka mengatur kebebasan atau mengendalikan kebebasan
tersebut, agar dapat mencapai tujuan diciptakannya, ykani mewujudkan
ketertiban, keamanan, kedamaian, dan kebahagiaan umat manusia. Kebebasan
tersebut terkait dengan kebebasan berpikir yang bertanggung jawab, kebebasan
agama yang disertai penghargaan terhadap kebebasan beragama pada orang lain,
kebebasan berpendapat yang dibatasi oleh kepnetingan umum, kebebasan memperoleh
pekerjaan, kedudukan, ekonomi, penghargaan, memilih pasangan hidup,
kewarganegaraan, tempat tinggal, dan lain sebagainya dibatasi oleh kebebasan orang
lain dalam hal yang sama, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang, norma
hukum, adat istiadat, hati nurani, moral dan agama. Dengan demikian, Islam
mendukung sebuah kebebasan yang bertanggung jawab, kebebasan yang dikendalikan
oleh kebebasan orang lain, kebebasan yang dibatasi hukum, adat istiadat, moral,
dan kesepatakan bersama. Islam tidak menghendaki kebebasan yuang liberal atau
kebebasan tanpa batas, karena kebebasan yang demikian itu kebebasan yang tidak
beradab, kebebasan yang tidak bermoral dan kebebasan yang menyebabkan timbulnya
kehidupan yang kacau balau.
E.
Pluralisme
Pilar
keempat yang menopang konsep multikulturalisme adalah prinsip pluralisme, yang
secara harfiah berarti keragaman, dan perbedaan atas segala sesuatu yang
terjadi di muka bumi: agama, etnis, suku, bahasa, budaya, warna kulit, bahasa,
tempat tinggal, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu terjadi baik secara
alami, yakni atas takdir atau secara langsung merupakan kehendak Tuhan, maupun
terjadi karena adanya proses politik, interaksi, komunikasi, asimilasi dan
kovergensi yang disebabkan adanya sesuatu kejadian yang secara antropologis
menghendaki adanya kemajemukan tersebut. Dalam ilmu politik, pluralisme antara
lain didefinisikan sebagai keberadaan toleransi keberagaman kelompok-kelompok
etnis dan budaya dalam suatu masyarakat atau negara, keragaman kepercayaan atau
sikap yang ada pada sebuah badan institusi dan sebagainya.
Secara
historis, menurut Masykuri Abdillah, bahwa istilah pluralisme di
identifikasikan dengan sebuah aliran filsafat, yang menentang konsep negara
absolut dan berdaulat. Sementara pluralisme klasik merupakan reaksi terhadap
doktrin hukum tentang kedaulatan negara; pluralisme kontemporer yang muncul
tahun 1950-an, dikembangkan tidak untuk menentang kedaulatan negara tetapi
untuk menentang teori-teori tentang elite. Hal ini merujuk pada definisi
plularisme secara politik, yaitu teori yang menentang kekuasaan monilitik
negara dan bahkan menganjurkan untuk meningkatkan pelimpahan dan otonomi
organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan seseorang dalam
masyarakat. Juga, percaya, bahwa kekuasaan harus dibagi diantara partai-partai
politik yang ada. Namun, pluralisme yang asli merujuk pada problem masyarakat
plural, yang penduduknya tidak homogen tetapi terbagi-bagi oleh kesukuan,
etnis, ras dan agama, dimana kadang-kadang beberapa faktor ini menyatu yang
cenderung meningkatkan konflik.
Sebagaimana
istilah demokrasi, persamaan dan kebebasan, istilah pluralisme juga tidak
diterima begitu saja oleh kalangan umat Islam. Tidak semua intelektual Muslim
menggunakan istilah pluralisme (ta’adudiyyah),
walaupun semuanya mengakui esensi pluralisme. Mereka lebih lanjut
mengidentifikasi perbedaan antara pluralisme sosial dan pluralisme politik.
Islam lebih memberikan perhatian terhadap pluralisme sosial. Dalama dengan
aspek-aspek agama lebih besar daripada aspek-aspek yang lain. Menurut Masykuri
Abdillah, hal ini mungkin karena mereka meanggap bahwa agama Islam tidak hanya
meliputi sistem kepercayaan namun juga mencakup masalah-masalah keduniaan.
Lebih dari itu, perbedaan agama merupakan perbedaan paling mendasar dalam
kehidupan masyarakat, dan dalam sejarah manusia, agama merupakan penyebab utama
ketegangan dan konflik antara bermacam-macam agama. Di samping itu, dalam
banyak kasus, agama mentransformasikan ke dalam identitas politik dan identitas
nasional, sehingga di satu sisi agama dapat menjadi faktor pemersatu, dalam
suatu kelompok atau masyarakat, dan di sini lain, dapat juga menjadi faktor
pemecah di antara berbagai kelompok atau masyarakat.
Pandangan
Islam tentang pluralisme ini antara lain dikemukakan oleh Narcholish Madjid.
Menurutnya, pluralisme manusia adalah kenyataan yang dikehendaki Tuhan.
Pernyataan Al-Qur’an, bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya saling mengenal dan saling menghormati (QS Al-Hujurat [49]:
13), menunjukkan pengakuannya terhadap pluralitas dan pluralisme. Islam
memandang, pluralisme adalah sistem ninlai yang memandang eksistensi
kemajemukan secara positif dan optimistik, dan menerimannya sebagai suatu
kenyataan dan sangat dihargai Al-Qur’an juga menyatakan bahwa perbedaan bahasa
dan warna kulit manusia harus diterima sebagai kenyataan yang positif, yang
merupakan salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah (QS Al-Rum [30]: 22).
Lebih lanjut, Al-Qur’an menyatakan, bahwa perbedaan pandangan atau aturan
manusia, tidak harus ditakuti, tetapi harus menjadi titik tolak untuk
berkompetisi menuju kebaikan. (QS Al-Maidah [5]: 48). Dengan demikian, Islam
memandang pluralisme sebagai hukum alam (sunnatullah) yang tidak akan berubah
dan tidak bisa ditolak. Islam adalah agama yang kitab sucinya sangat mengakui
keberadaan hak-hak agama lain untuk hidup dan untuk mengimplementasikan
ajaran-ajarannya, kecuali agama yang mendasarkan keimanannya pada paganisme
atau syirik (politeisme). Pengakuan ini menunjukkan dasar keagamaan serta
pluralisme sosial dan kultural, sebagai aturan Tuhan yang tidak berubah (QS
Al-Maidah [5]: 44-50). Menurutnya, pluralisme merupakan produk dari pandangan
jujur terhadap kemanusiaan yang diilhami oleh sikap saling menghormati di
antara individu-inidividu dan kelompok-kelompok. Dengan demikia, pluralisme
yang dikehendaki oleh Islam bukanlah sekedar adanya pengakuan bahwa pluralisme
sebagai sebuah keniscayaan dan sunatullah, tetapi pluralisme yang mendatangkan
keberkahan dan nilai tambah bagi manusia, yaitu pluralisme yang didasarkan pada
saling menghargai dan menghormati, memanfaatkannya secara produktif untuk
kepentingan bersama, saling menerima dan memberi, saling menunjang dan
menopang, saling berbagi pengalaman dari kesuksesan hidup masing-masing umat,
rasa tidak saling menganggu dan mencapuri perbedaan masing-masing, dan selalu
mencari titik temu untuk kebaikan bersama. Konsep Islam tentang pluralisme
inilah yang digagas dan diujicobakan oleh Nabi Muhammad Saw. melalui
kebijakannya berupa “Piagam Madinah”. Pluralisme yang demikian itulah yang akan
menjamin terwujudnya kehidupan yang harmonis, rukun dan damai, serta terhindar
dari konflik dan permusuhan yang merugikan semua manusia.
Dengan
memerhatikan uraian tersebut di atas, dapat diketahui dengan jelas, bahwa
multikulturalisme merupakan sebuah konsep yang mengandung makna dan nilai
kemanusiaan yang amat dalam. Multikulturalisme menghendaki adanya sebuah
kehidupan masyarakat yang demokratis kesamaan, kebebasan dan wawasan
pluralisme. Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan, melainkan juga hubungan manusia dengan manusia, alam jagat raya
dan lainnya. Denan demikian multikulturalisme dengan pilar-pilarnya itu:
demokrasi, kesamaan, kebebasan dan pluralisme juga dapat perhatian dan respons
dari ajaran Islam. Respons dan perhatian ini diberikan oleh Islam, agar konsep
multikulturalisme dengan pilar-pilarnya itu tunduk pada nilai-nilai yang
terdapat dalam peraturan perundangan, adat istiadat, moral dan agama. Dengan
demikian multikulturalisme yang dibangun adalah multikultural yang berbasisi
pada keseimbangan antara kebebasan manusia dan kehendak mutlak Tuhan antara
kepentingan indibidu dan sosial, antara mayoritas dan minoritas, serta
nilai-nilai yang bersifat universal, unggul, dan bertujuan untuk kebaikan dan
kemajuan hidup jangka panjang. Yaitu multikulturalisme yang didasarkan pada
nilai-nilai keadilan, toleransi, kejujuran, kepentingan bersama, dan keseimbangan
dalam segala bidang.
Konsep
multikultural dengan pilar-pilarnya: demokrasi, kesamaan, kebebasan, dan
pluralisme inilah yang harus menjadi visi, misi dan tujuan yang harus
diperjuangkan oleh pendidikan agama Islam yang diajarkan pada lembaga pendidikan,
mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, serta tidka hanya
pada pendidikan formal, melainkan juga nonformal. Konsep pendidikan agama yang
demikian itu selanjutnya harus tampak dalam rumusan kurikulum baik pada
kurikulum inti, kurikulum muatan lokal, hidden
kurikulum, aktual dan potensial kurikulum, dan habitual kurikulum, bahan
ajar, proses belajar mengajar, kompetensi dan profil tenaga pendidik dan
kependidikan, sarana prasarana, dan budaya sekolah.
F.
Keterkaitan antara Multikulturalisme
dan Pendidik
Kebutuhan
praktis dan norma sosial dari berbagai budaya mendominasi pemikiran tentang perkembangan,
pengasuhan, perawatan, dan pendidikan anak. Dalam konteks gender misalnya, pengasuhan
dan pendidikan anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan. Di banyak negara,
laki-laki memiliki akses yang lebih besar terhadap kesempatan pendidikan,
kebebasan yang lebih besar untuk mengejar karier, dan batasan yang lebih
longgar dalam aktivitas-aktivitas lain dibanding perempuan (UNICEF,2005 dalam
Santrock, 2007). Pada suatu studi tentang pengasuhan dalam 186 kebudayaan yang
berbeda, ditemukan bahwa terdapat variasi lintas budaya yang berbeda, meskipun
juga ditemukan pola pengasuhan yang paling umum, yaitu gaya hangat dan
mengontrol merupakan pola yang tidak permisif, namun juga tidak restriktif
(Santrock, 2007). Pola pengasuhan yang berbeda ini akan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga perlu dipahami secara utuh oleh
pendidik.
Pemahaman
mengenai multikultural hendaknya dimiliki oleh pendidik PAUD karena akan sangat membantu pendidik dalam mengenal beragam
latar beragam anak secara komprehensif. Pemahaman tersebut akan membantu
pendidik untuk mengembangkan strategi pembelajaran yang adil bagi semua anak,
tanpa memandang latar belakang budaya, personal, etnis, jenis kelamin, gender,
maupun latar belakang sosial ekonomi mereka. Dengan demikian, pendidik dan anak
dapat hidup berdampingan secara produktif dalam dunia yang memang
multikultural. Pendidik sangat terkait dengan berbagai prioritas pada
budaya-budaya yang berbeda serta interaksi antar budaya tersebut. Hal ini
tampak dalam masyarakat yang mengedepankan individualisme, yang tentu saja
berbeda dengan masyarakat yang mengutamakan kolektivisme. Individualisme
memberikan prioritas pada tujuan pribadi, menekankan nilai yang memenuhi
kebutuhan diri sendiri. Misalnya, merasa baik, perbedaan pribadi, dan
pencapaian serta kemandirian. Kolektivisme mementingkan nilai kelompok dengan
mengabaikan tujuan pribadi untuk mempertahankan integritas kelompok, saling
ketergantungan antaranggota dan hubungan yang harmonis. Perbedaan fokus
mempengaruhi cara pendidik, dan memilih, dan menanamkan nilai-nilai serta
norma-norma pada anak didik. Dengan demikian, pendidik dapat memahami sejauhmana
perkembangan anak sama atau universal atau spesifik dalam budaya tertentu. Pendidik
juga perlu memahami pengaruh perbedaan etnis dalam perkembangan dan interaksi setiap
anak. Mengakui perbedaan etnisitas adalah aspek penting untuk mengembangkan
kehidupan yang rukun antar anak, terutama dalam bangsa yang beragam dan
multikultur. Dengan demikian, pendidik hendaknya mengembangkan diri menjadi
pendidik yang peduli pada keberagaman. Pendidik yang peduli terhadap
keberagaman memiliki ciri-ciri: (1) Mendidik dengan beragam cara, membuat kelas
menarik dan mengajar dengan cara yang istimewa, sehingga setiap anak senang dan
siap untuk menerima informasi; (2) menghargai dan menyayangi setiap anak; (3)
memperhatikan, mendengarkan dan mengajukan banyak pertanyaan untuk merangsang
munculnya ide kreatif anak; (4) jujur, adil, menaruh kepercayaan pada anak dan
mengatakan yang sebenarnya dengan cara-cara yang tepat; serta (5) bertindak
sebagai teman, meluangkan waktu dan memastikan bahwa setiap anak menerima dan
memahami informasi, yang berguna untuk meningkatkan keterampilan dan pengalaman
anak. Terdapat beberapa kriteria pendidik PAUD dalam dunia yang multikultur,
antara lain: (1) memahami materi pendidikan anak usia dini secara komprehensif,
sehingga dapat menyampaikan informasi yang lengkap dan benar kepada anak; (2)
memahami proses pengembangan anak secara holistik; (3) mudah beradaptasi dalam
setiap kondisi dan budaya, termasuk budaya anak; (4) mampu mengimplementasikan
berbagai strategi pembelajaran untuk berinteraksi dengan anak yang memiliki
latar belakang budaya, pengalaman, status sosial ekonomi, dan pola pengasuhan
yang berbeda; (5) memiliki keterampilan untuk mengelola kelas dan memotivasi
setiap anak. (6) memiliki keterampilan berkomunikasi secara efektif; (7) memiliki
keterampilan untuk merancang dan melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan
anak, dengan berbagai perbedaan karakteristik; (8) dapat melakukan penilaian
terhadap perkembangan anak; (9) memiliki tanggung jawab dan komitmen
profesional; serta (10) Dapat menjalin hubungan yang baik anak, sesama
pendidik, orangtua maupun stakeholder yang lainnya (Jenkins, 2008).
Kesepuluh,
kriteria
tersebut dapat dipenuhi oleh pendidik melalui pengembangan profesionalisme
secara berkelanjutan. Pengembangan profesionalisme secara berkelanjutan
merupakan upaya-upaya yang dapat ditempuh oleh pendidik, baik secara
individualmaupun kolektif, untuk mengembangkan kapasitas diri, sehingga dapat
memberikan layanan yang sebaikbaiknya pada anak. Apabila pendidik memahami
multikulturalisme dengan tepat, maka hal ini sangat mendukung gerakan global
untuk anak, yang pada dasarnya menyangkut prinsip-prinsip sebagai berikut. Pertama,
dahulukan kepentingan anak. Dalam segala tindakan yang berhubungan dengan
anak, kepentingan terbaik anak hendaknya menjadi pertimbangan utama. Kedua, berantas
kemiskinan. Kemiskinan memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak secara menyeluruh. Memberantas kemiskinan berarti memenuhi
hak-hak dasar anak untuk hidup, serta menghindarkan anak dari berbagai bentuk
perburuhan dan perdagangan anak. Ketiga, jangan sampai seorang anak pun
tertinggal. Setiap anak dilahirkan dalam keadaan merdeka dan setara dalam
martabat dan hak asasi, dengan demikian, segala bentuk diskriminasi harus diakhiri.Keempat,
perawatan bagi setiap anak. Anak harus mendapatkan perawatan yang terbaik
di awal kehidupannya. Ketahanan (survival), perlindungan, pertumbuhan,
perkembangan, kesehatan serta nutrisi yang baik harus diterima oleh setiap anak
karena merupakan landasan bagi anak untuk hidup dengan baik. Kelima, didiklah
setiap anak. Setiap anak hendaknya mendapatkan akses yang sama terhadap
pendidikan yang berkualitas, sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan
optimal. Keenam, melindungi anak dari pengayaan dan eksploitasi. Anak
harus dilindungi dari setiap tindakan kekerasan, penganiayaan, eksploitasi, dan
diskriminasi, serta dari segala bentuk terorisme dan penyanderaan. Ketujuh, melindungi
anak dari peperangan. Anak-anak harus dilindungi dari konflik bersenjata serta
ketentuan-ketentuan hukum konflik internasional. Kedelapan, menyelamatkan
anak dari HIV/AIDS. Anak-anak dan keluarga harus dilindungi dari penyakit
HIV/AIDS serta dampak mengerikan yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, perlu
pemastian bahwa setiap anak mendapatkan layanan kesehatan yang memadai. Di
samping itu, sesungguhnya anak juga perlu dihindarkan dari berbagai penyakit
atau berbahaya lainnya, misalnya penyakit infeksi,kelaparan, dan sebagainya Kesembilan,
mendengarkan setiap pendapat anak dan pastikan partisipasi mereka. Setiap
anak berhak untuk mengemukakan pendapat serta perasaan, dan ikut serta dalam
segala hal yang menyangkut mereka sesuai dengan usia dan kematangan. Kesepuluh,
menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk anak. Lingkungan dengan
keragaman hidup dan budayanya merupakan pendukung bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak, sehingga hendaknya dapat menjadi tempat yang baik bagi anak
(Rilantono, 2009). Dengan demikian, gerakan global ini merupakan upaya untuk
menyelamatkan dan meningkatkan kualitas hidup anak, sehingga tumbuh menjadi
generasi yang berkualitas pula.
G.
Peran Pendidik PAUD dalam Pendidikan
Multikulturalisme
Pendidik
adalah ujung tombak dalam pendidikan anak usia dini, karena berinteraksi
langsung dengan anak, termasuk juga dengan orang tua dan masyarakat. Dengan
demikian, pendidik memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendidikan
multikultural. Berikut ini adalah beberapa peran pendidik PAUD dalam pendidikan
multikulturalisme. Pertama, pendidik berperan sebagai pendamping.
Pendidik diharapkan dapat memberikan pendampingan dan bimbingan kepada anak
agar menjadi manusia pembangunan yang sesuai dengan falsafah negara, yaitu yang
dapat menghayati dan melaksanakan berbagai aktivitas dengan mendasarkan pada
falsafah negara. Kedua, pendidik berperan sebagai pengembang kurikulum.
Pendidik diharapkan dapat menerapkan dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan
kebutuhan anak. Pendidik dituntut mampu mendesain program pembelajaran,
termasuk merancang berbagai aktivitas sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
setiap anak. Ketiga, pendidik berperan sebagai komunikator, pendidik
hendaknya mengadakan komunikasi, terutama untuk memperoleh informasi tentang
anak. Pendidik perlu berkomunikasi dan membangun hubungan baik dengan anak.
Dengan mengetahui keadaan serta karakteristik anak, maka akan sangat membantu
dalam upaya menciptakan proses pendidikan yang optimal. Keempat, pendidik
berperan sebagai motivator. Pendidik diharapkan dapat memberikan semangat untuk
senantiasa menghargai perbedaan, bangga terhadap budaya sendiri. Kelima, pendidik
berperan sebagai role model, sehingga dituntut untuk menampilkan
perilaku yang menunjukkan keteladanan dalam menghargai keragaman latar belakang
anak. Agar kelima peran tersebut dapat dilakukan oleh pendidik, maka perlu
pengembangan profesionalisme pendidik secara berkelanjutan.
H.
Pengembangan Profesionalisme Pendidik
PAUD yang Multikulturalisme
Pengembangan
profesionalisme merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh pendidik PAUD,
mengingat bahwa keberagaman adalah hal yang pasti terdapat dalam diri anak dan
masyarakat. Oleh karena itu, pendidik PAUD dapat melakukan beberapa hal yang
dapat meningkatkan kompetensinya dalam menghargai keberagaman dan mendidik
secara adil. Pembangun kompetensi tersebut dapat dilakukan dengan lima cara
(Morrison, 2012). Pertama, memperhatikan perkembangan multikultural
dalam diri pendidik. Berbagai hal yang dapat dilakukan antara lain: (a)
menunjukkan sikap dan pandangan yang menghargai terhadap orang yang berbeda
kebudayaan; (b) mempelajari kebiasaan, adat, kepercayaan dan perilaku yang
berkaitan dengan agama yang dianut oleh anak; dan (c) meminta orangtua mengajarkan
bahasa mereka (apabila ada anak yang berbeda bahasa), supaya pendidik dapat
mempelajari beberapa ungkapan dasar untuk memberi salam dan bertanya, serta
cara anak-anak memanggil orangtua dengan benar dan hormat Kedua, membuat
semua anak merasa diterima. Dengan demikian, anak akan merasa nyaman dan betah
berada dalam lingkungan kelas. Oleh karena itu, pendidik PAUD hendaknya dapat
melakukan berbagai aktivitas, antara lain: (a) membuat suasana kelas yang penuh
dengan kegembiraan dan semangat melalui afirmasi dan bahasa tubuh yang positif,
sehingga kelas menjadi lingkungan yang penuh semangat dan hidup dengan berbagai
budaya yang dimiliki oleh anak. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan
gambar, benda-benda kerajinan tangan, alat permainan, dan sebagainya; (b)
mendukung budaya dan bahasa ibu yang digunakan oleh anak, dengan menciptakan
lingkungan yang aman dan nyaman, sehingga anak bebas bercerita dan berbagi
budaya dan bahasa masing-masing; serta (c) mendorong anak untuk berdiskusi,
menggambar, dan melukis tentang arti budaya bagi mereka Ketiga, membuat
semua orang tua dan keluarga merasa diterima. Semua orang tua dan keluarga
hendaknya merasa menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pendidikan anak
usia dini. Dengan demikian, orang tua dan keluarga turut bertanggung jawab dan
berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.Oleh karena itu, perlu dirancang
program untuk melibatkan orang tua, dengan cara: (a) mengundang orangtua atau
keluarga anak untuk bercerita dan mendiskusikan bahasa dan budaya mereka
masing-masing di kelas bersama anak dan pendidik. Mungkin perlu juga mereka
mendemonstrasikan musik, lagu, atau kostum yang berkaitan dengan budaya; (b)
pendidik dapat berusaha belajar bahasa mereka sehari-hari dan berbicara dengan
orangtua dengan menggunakan bahasa sehari-hari tersebut; (c) bekerjasama dengan
orangtua untuk menjembatani perbedaan antara cara yang berlaku di sekolah
dengan norma yang berlaku di rumah dan budaya mereka; serta (d) bekerja sama
dengan sesama pendidik PAUD. Untuk menjalin kerja sama dan komunikasi aktif
yang efektif antarpendidik PAUD, perlu dikembangkan kegiatan untuk berbagi ide
tentang cara menanggapi berbagai permasalahan anak dan orang tua yang berkaitan
dengan perbedaan budaya, bahasa, gender, etnis dan sebagainya, serta membentuk
kelompok diskusi untuk membahas berbagai kebutuhan anak terkait bahasa dan
budaya. Kelima, berperan aktif dalam komunitas tempat pendidik PAUD
berada. Pendidik PAUD diharapkan berpartisipasi aktif dalam kegiatan
kemasyarakatan, karena komunitas atau masyarakat adalah tempat yang sangat
multikultural. Oleh karena itu, pendidik PAUD hendaknya mempelajari sebanyak
mungkin segala hal tentang komunitas atau masyarakat sekitar dan sumber daya
budaya yang dimiliki komunitas Selain itu, pendidik PAUD diharapkan dapat
bekerja sama dengan organisasi masyarakat, keluarga dan populasi yang beragam
budaya dan bahasa.Apabila perlu, dapat diminta untuk menjadi sukarelawan untuk
membantu memenuhi kebutuhan anak yang beragam. Pendidik PAUD perlu berinteraksi
secara intensif dengan beragam masyarakat dan menghargai teladan dari semua
budaya. Pendidik juga dapat memberikan layanan pendidikan anak di rumah
(apabila diperlukan), karena kemungkinan anak belum menerima layanan yang
memadai di rumah karena berbagai hal yang berisiko menurunkan kualitas hidup
anak. Pengembangan kompetensi tersebut sangat berkontribusi terhadap
peningkatkan kapasitas pendidik PAUD sebagai salah satu agen dalam transfer dan
transformasi budaya antar generasi. Dengan demikian, turut membantu menyiapkan
anak menghadapi lingkungan masyarakt yang beragam, sehingga mampu hidup dalam
keberagaman dengan damai
DAFTAR
PUSTAKA
Nata
Abuddin. 2014. Sosiologi Pendidikan Islam. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Puspita
Ayu. 2013. Multikulturalsime Dalam Pendidikan Anak Usia Dini.Jurnal Ilmiah Visi
P2TK PAUDNI